SERBA SERBI INDONESIA Sumber: Unknown Ebook Re Edited by: Farid ZE Blog Pecinta Buku – PP Assalam Cepu ============================================ Ebook Cersil, Teenlit, Novel (www.zheraf.net) Gudang Ebook Ponsel http://www.ebookHP.com ============================================ Daftar Isi 1. Asal Mula Singaraja - Bali 2. Asal Mula Terjadinya Selat Bali – Bali 3. Asal Mula Kota Balikpapan - Kalimantan Timur 4. Asal Mula Danau Toba - Sumatra Utara 5. Asal Mula Reog Ponorogo - Jawa Timur 6. Batu Menangis - Kalimantan Barat 7. Joko Kendil 8. Balasan Bagi Tukang Sihir 9. Joko Samodra - Jawa Timur 10. Buah Kecerdikan 11. Kebo Iwa - Bali 12. Brandal Lokajaya - Jawa Timur 13. Kecil Tapi Perkasa 14. Gadis Jelmaan Burung 15. Kera Yang Culas 16. Ikan Ajaib - Timur Tengah 17. Kesombongan Luwing - Sumatra 1. Asal Mula Singaraja - Bali Dahulu kala di Pulau Bali, tepatnya di daerah Klungkung hiduplah seorang Raja yang bergelar Sri Sagening. Ia mempunyai istri yang cukup banyak. Istri yang terakhir bernama Ni Luh Pasek. Ni Luh Pasek berasal dari Desa Panji dan merupakan keturunan Kyai Pasek Gobleg. Namun malang nasib Ni Luh Pasek, sewaktu ia mengandung, ia dibuang secara halus dari istana, ia dikawinkan dengan Kyai Jelantik Bogol oleh suaminya. Kesedihannya agak berkurang berkat kasih sayang Kyai Jelantik Bogol yang tulus. Setelah tiba waktunya ia melahirkan anak laki-laki yang dinamai I Gusti Gede Pasekan. Bayi bernama I Gusti Gede Pasekan makin hari makin besar, setelah dewasa ia mempunyai wibawa besar di Kota Gelgel. Ia sangat dicintai oleh pemuka masyarakat dan masyarakat biasa. Ia juga disayang oleh Kyai Jelantik Bogol seperti anak kandungnya sendiri. Pada suatu hari, ketika ia berusia dua puluh tahun, Kyai Jelantik Bogol memanggilnya. “Anakku,” kata Kyai Jelantik Bogol, ”Sekarang pergilah engkau ke Den Bukit di daerah Panji.” “Mengapa saya harus pergi kesana, Ayah?” “Anakku, itulah tempat kelahiran ibumu.” “Baiklah, Ayah. Saya akan pergi kesana.” Sebelum berangkat, Kyai Jelantik Bogol berkata kepada anaknya, ”I Gusti, bawalah dua senjata bertuah ini, yaitu sebilah keris bernama Ki Baru Semang dan sebatang tombak bernama Ki Tunjung Tutur. Mudah-mudahan engkau akan selamat.” “Baik, Ayah!” Dalam perjalanan ke Den Bukit ini, I Gusti Gede Pasekan diiringi oleh empat puluh orang di bawah pimpinan Ki Dumpiung dan Ki Kadosot. Setelah empat hari berjalan, tibalah mereka di suatu tempat yang disebut Batu Menyan. Disana mereka bermalam. Malam itu I Gusti Gede Pasekan dan ibunya dijaga ketat oleh para pengiringnya secara bergiliran. Tengah malam, tiba-tiba datang makhluk gaib penghuni hutan. Dengan mudah sekali I Gusti Gede Pasekan diangkat ke atas pundak makhluk gaib itu sehingga ia dapat melihat pemandangan lepas dari lautan dan daratan yang terbentang di depannya. Ketika ia memandang ke timur dan barat laut, ia melihat pulau yang amat jauh. Sedangkan ketika ia memandang kearah selatan, pemandangannya dihalangi oleh gunung. Setelah makhluk gaib itu lenyap, didengarnya suatu bisikan. “I Gusti, sesungguhnya daerah yang baru engkau lihat itu akan menjadi daerah kekuasaanmu.” I Gusti Gede Pasekan sangat terkejut mendengar suara gaib itu. Namun ia juga merasa senang, bukankah suara itu adalah pertanda bahwa pada suatu ketika ia akan mendapat kedudukan yang mulia, menjadi penguasa suatu daerah yang cukup luas. Memang untuk mencapai kemuliaan orang harus menempuh berbagai kesukaran terlebih dahulu. Ia menceritakan apa yang didengarnya secara gaib itu kepada ibunya. Ibunya memberi semangat untuk terus melakukan perjalanan. Keesokan harinya rombongan I Gusti Gede Pasekan melanjutkan perjalanan yang penuh dengan rintangan. Walaupun perjalanan ini sukar dan jauh, akhirnya mereka berhasil juga mencapai tujuan dengan selamat. Pada suatu hari ketika ia berada di desa ibunya, terjadilah peristiwa yang menggemparkan. Ada sebuah perahu Bugis terdampar di pantai Panimbangan. Pada mulanya orang Bugis meminta pertolongan nelayan di sana, tetapi mereka tidak berhasil membebaskan perahu yang kandas. Nahkoda perahu Bugis sudah putus asa, tapi tetua kampung nelayan datang mendekatinya. “Hanya seorang yang dapat menolong Tuan.” “Tuan, katakan saja, siapa yang dapat menyeret perahu kelautan?” “Seorang anak muda, namun sakti dan penuh wibawa.” jawab tetua kampung. “Siapa namanya?” “I Gusti Gede Pasekan!” Keesokan harinya orang Bugis itu datang kepada I Gusti Gede Pasekan. Ia berkata, ”Kami mengharapkan bantuan Tuan. Jika Tuan berhasil mengangkat perahu kamu, sebagian isi muatan perahu akan kami serahkan kepada Tuan sebagai upahnya.” “Kalau itu memang janji Tuan, saya akan mencoba mengangkat perahu kandas itu,” jawab I Gusti Gede Pasekan. Untuk melepaskan perahu besar yang kandas itu, I Gusti Gede Pasekan mengeluarkan dua buah senjata pusaka warisan Kyai Jelantik Bogol. Ia memusatkan pikirannya. Tak lama kemudia muncullah dua makhluk halus dari dua buah senjata pusaka itu. “Tuan apa yang harus hamba kerjakan?” “Bantu aku menyeret perahu yang kandas itu ke laut laut !” “Baik Tuan!” Dengan bantuan dua makhluk halus itu ia pun berhasil menyeret perahu dengan mudah. Orang lain jelas tak mampu melihat kehadiran si makhluk halus, mereka hanya melihat I Gusti Gede Pasekan menggerak-gerakkan tangannya menunjuk ke arah perahu. Karena senangnya, orang Bugis itu pun menepati janjinya. Diantara hadiah yang diberikan itu terdapat dua buah gong besar. Karena I Gusti sekarang sudah menjadi orang kaya, ia digelari dengan sebutan I Gusti Panji Sakti. Sejak kejadian itu, kekuasaan I Gusti Panji Sakti, mulai meluas dan menyebar kemana-mana. Ia pun mulai mendirikan suatu Kerajaan baru di daerah Den Bukit. Kira-kira pada pertengahan abad ke-17 ibukota Kerajaan itu disebut orang dengan nama Sukasada. Semakin hari Kerajaan itu makin luas dan berkembang lalu didirikanlah Kerajaan baru. Letaknya agak ke utara dari kota Sukasada. Sebelum dijadikan kota, daerah itu banyak sekali ditumbuhi pohon buleleng. Oleh karena itu, pusat kerajaan baru disebut Buleleng. Buleleng adalah nama pohon yang buahnya sangan digemari oleh burung perkutut. Di pusat kerajaan baru itu didirikan istana megah, yang diberi nama Singaraja. Nama itu menunjukkan bahwa penghuninya adalah seorang Raja yang seperti singa gagah perkasa. Hal ini dikarenakan I Gusti Panji Sakti memang dikenal sebagai sosok yang sakti dan gagah berani. Jika ada gerombolan bajak laut atau perampok yang mengacau, sang Raja turut maju ke medan perang bersama prajuritnya, karena itu tepatlah jika istananya disebut Singaraja. Ada pula yang mengatakan bahwa Singaraja berarti "tempat persinggahan raja"’. Konon, ketika istananya masih ada di Sukasada, raja sering singgah disana. Dengan demikian, kata Singaraja berasal dari kata Singgah Raja. Legenda asal-usul kota Buleleng dan kota Singaraja ini dipercaya penduduk Bali benar-benar pernah terjadi. Ibu Panji Sakti berasal dari kasta Sudra, yakni kalangan rendah pada masyarakat Hindu-Bali. Hal ini sangat menarik, sebab seseorang yang berasal dari kalangan rendah dapat menjadi orang yang berkedudukan tinggi dan mulia karena perjuangan dan usahanya yang keras meraih cita-cita. ============================================ Ebook Cersil, Teenlit, Novel (www.zheraf.net) Gudang Ebook Ponsel http://www.ebookHP.com ============================================ 2. Asal Mula Terjadinya Selat Bali - Bali Pada jaman dahulu kala, ada seorang pemuda bernama Manik Angkeran. Ayahnya seorang Begawan yang berbudi pekerti luhur, yang bernama Begawan Sidi mantra. Walaupun ayahnya seorang yang disegani oleh masyarakat sekitar dan memiliki pengetahuan agama yang luas, tetapi Manik Angkeran adalah seorang anak yang manja, yang kerjanya hanya berjudi dan mengadu ayam seperti berandalan-berandalan yang ada di desanya. Mungkin ini karena ia telah ditinggal oleh Ibunya yang meninggal sewaktu melahirkannya. Karena kebiasaannya itu, kekayaan ayahnya makin lama makin habis dan akhirnya mereka jatuh miskin. Walaupun keadaan mereka sudah miskin, kebiasaan Manik Angkeran tidak juga berkurang, bahkan karena dalam berjudi ia selalu kalah, hutangnya makin lama makin banyak dan ia pun di kejar-kejar oleh orang-orang yang dihutanginya. Akhirnya datanglah Manik ketempat ayahnya, dan dengan nada sedih ia meminta ayahnya untuk membayar hutang-hutangnya. Karena Manik Angkeran adalah anak satu-satunya, Begawan Sidi Mantra pun merasa kasihan dan berjanji akan membayar hutang-hutang anaknya. Maka dengan kekuatan batinnya, Begawan Sidi Mantra mendapat petunjuk bahwa ada sebuah Gunung yang bernama Gunung Agung yang terletak di sebelah timur. Di Gunung Agung konon terdapat harta yang melimpah. Berbekal petunjuk tersebut, pergilah Begawan Sidi Mantra ke Gunung Agung dengan membawa genta pemujaannya. Setelah sekian lama perjalanannya, sampailah ia ke Gunung Agung. Segeralah ia mengucapkan mantra sambil membunyikan gentanya. Dan keluarlah seekor naga besar bernama Naga Besukih. “Hai Begawan Sidi Mantra, ada apa engkau memanggilku?” tanya sang Naga Besukih. “Sang Besukih, kekayaanku telah dihabiskan anakku untuk berjudi. Sekarang karena hutangnya menumpuk, dia dikejar-kejar oleh orang-orang. Aku mohon, bantulah aku agar aku bisa membayar hutang anakku!” “Baiklah, aku akan memenuhi permintaanmu Begawan Sidi Mantra, tapi kau harus menasehati anakmu agar tidak berjudi lagi, karena kau tahu berjudi itu dilarang agama!” “Aku berjanji akan menasehati anakku” jawab Begawan Sidi Mantra. Kemudian Sang Naga Besukih menggetarkan badannya dan sisik-sisiknya yang berjatuhan segera berubah emas dan intan. “Ambillah Begawan Sidi Mantra. Bayarlah hutang-hutang anakmu. Dan jangan lupa nasehati dia agar tidak berjudi lagi.” Sambil memungut emas dan intan serta tak lupa mengucapkan terima kasih, maka Begawan Sidi Mantra segera pergi dari Gunung Agung. Lalu pulanglah ia ke rumahnya di Jawa Timur. Sesampainya dirumah, di bayarlah semua hutang anaknya dan tak lupa ia menasehati anaknya agar tidak berjudi lagi. Tetapi rupanya nasehat ayahnya tidak dihiraukan oleh Manik Angkeran. Dia tetap berjudi dan mengadu ayam setiap hari. Lama-kelamaan, hutang Manik Angkeran pun semakin banyak dan ia pun di kejar-kejar lagi oleh orang-orang yang dihutanginya. Dan seperti sebelumnya, pergilah Manik Angkeran menghadap ayahnya dan memohon agar hutang-hutangnya dilunasi lagi. Walaupun dengan sedikit kesal, sebagai seorang ayah, Begawan Sidi Mantra pun berjanji akan melunasi hutang-hutang tersebut. Dan segera ia pun pergi ke Gunung Agung untuk memohon kepada Sang Naga Besukih agar diberikan pertolongan lagi. Sesampainya ia di Gunung Agung, dibunyikannya genta dan membaca mantra-mantra agar Sang Naga Besukih keluar dari istananya. Tidak beberapa lama, keluarlah akhirnya Sang Naga Besukih dari istananya. “Ada apa lagi Begawan Sidi Mantra? Mengapa engkau memanggilku lagi?” tanya Sang Naga Besukih. “Maaf Sang Besukih, sekali lagi aku memohon bantuanmu agar aku bisa membayar hutang-hutang anakku. Aku sudah tidak punya apa-apa lagi dan aku sudah menasehatinya agar tidak berjudi, tapi ia tidak menghiraukanku.” mohon Begawan Sidi Mantra. “Anakmu rupanya sudah tidak menghormati orang tuanya lagi. Tapi aku akan membantumu untuk yang terakhir kali. Ingat, terakhir kali.” Maka Sang Naga menggerakkan tubuhnya dan Begawan Sidi Mantra mengumpulkan emas dan permata yang berasal dari sisik-sisik tubuhnya yang berjatuhan. Lalu Begawan Sidi Mantra pun memohon diri. Dan setiba dirumahnya, Begawan Sidi Mantra segera melunasi hutang-hutang anaknya. Karena dengan mudahnya Begawan Sidi Mantra mendapatkan harta, Manik Angkeran pun merasa heran melihatnya. Maka bertanyalah Manik Angkeran kepada ayahnya, “Ayah, darimana ayah mendapatkan semua kekayaan itu?” “Sudahlah Manik Angkeran, jangan kau tanyakan dari mana ayah mendapat harta itu. Berhentilah berjudi dan menyabung ayam, karena itu semua dilarang oleh agama. Dan inipun untuk terakhir kalinya ayah membantumu. Lain kali apabila engkau berhutang lagi, ayah tidak akan membantumu lagi.” Tetapi ternyata Manik Angkeran tidak dapat meninggalkan kebiasaan buruknya itu, ia tetap berjudi dan berjudi terus. Sehingga dalam waktu singkat hutangnya sudah menumpuk banyak. Dan walaupun ia sudah meminta bantuan ayahnya, ayahnya tetap tidak mau membantunya lagi. Sehingga ia pun bertekad untuk mencari tahu sumber kekayaan ayahnya. Bertanyalah ia kesana kemari, dan beberapa temannya memberitahu bahwa ayahnya mendapat kekayaan di Gunung Agung. Karena keserakahannya, Manik Angkeran pun mencuri genta ayahnya dan pergi ke Gunung Agung. Sesampai di Gunung Agung, segeralah ia membunyikan genta tersebut. Mendengar bunyi genta, Sang Naga Besukih pun merasa terpanggil olehnya, tetapi Sang Naga heran, karena tidak mendengar mantra-mantra yang biasanya di ucapkan oleh Begawan Sidi Mantra apabila membunyikan genta tersebut. Maka keluarlah San Naga untuk melihat siapa yang datang memangilnya. Setelah keluar, bertemulah Sang Naga dengan Manik Angkeran. Melihat Manik Angkeran, Sang Naga Besukih pun tidak dapat menahan marahnya. “Hai Manik Angkeran! Ada apa engkau memanggilku dengan genta yang kau curi dari ayahmu itu?” Dengan sikap memelas, Manik pun berkata “Sang Naga bantulah aku. Berilah aku harta yang melimpah agar aku bisa membayar hutang-hutangku. Kalau kali ini aku tak bisa membayarnya, orang-orang akan membunuhku. Kasihanilah aku.” Melihat kesedihan Manik Angkeran, Sang Naga pun merasa kasihan. “Baiklah, aku akan membantumu.” jawab Sang Naga Besukih. Setelah memberikan nasehat kepada Manik Angkeran, Sang Naga segera membalikkan badannya untuk mengambil harta yang akan diberikan ke Manik Angkeran. Pada saat Sang Naga membenamkan kepala dan tubuhnya kedalam bumi untuk mengambil harta, Manik Angkeran pun melihat ekor Sang Naga yang ada dipemukaan bumi dipenuhi oleh intan dan permata, maka timbullah niat jahatnya. Manik Angkeran segera menghunus keris dan memotong ekor Sang Naga Besukih. Sang Naga Besukih meronta dan segera membalikkan badannya. Akan tetapi, Manik Angkeran telah pergi. Sang Naga pun segera mengejar Manik ke segala penjuru, tetapi ia tidak dapat menemukan Manik Angkeran, yang ditemui hanyalah bekas tapak kaki Manik Angkeran. Maka dengan kesaktiannya, Sang Naga Besukih membakar bekas tapak kaki Manik Angkeran. Walaupun Manik Angkeran sudah jauh dari Sang Naga, tetapi dengan kesaktian Sang Naga Besukih, ia pun tetap merasakan pembakaran tapak kaki tersebut sehingga tubuh Manik Angkeran terasa panas sehingga ia rebah dan lama kelamaan menjadi abu. Di Jawa Timur, Begawan Sidi Mantra sedang gelisah karena anaknya Manik Angkeran telah hilang dan genta pemujaannya juga hilang. Tetapi Begawan Sidi Mantra tahu kalau gentanya diambil oleh anaknya Manik Angkeran dan merasa bahwa anaknya pergi ke Gunung Agung menemui Sang Naga Besukih. Maka berangkatlah ia ke Gunung Agung. Sesampainya di Gunung Agung, dilihatnya Sang Naga Besukih sedang berada di luar istananya. Dengan tergesa-gesa Begawan Sidi Mantra bertanya kepada Sang Naga Besukih “Wahai Sang Besukih, adakah anakku Manik Angkeran datang kemari?” “Ya, ia telah datang kemari untuk meminta harta yang akan dipakainya untuk melunasi hutang-hutangnya. Tetapi ketika aku membalikkan badan hendak mengambil harta untuknya, dipotonglah ekorku olehnya. Dan aku telah membakarnya sampai musnah, karena sikap anakmu tidak tahu balas budi itu. Sekarang apa maksud kedatanganmu kemari, Begawan Sidi Mantra?” “Maafkan aku, Sang Besukih! Anakku Cuma satu, karena itu aku mohon agar anakku dihidupkan kembali.” mohon Sang Begawan. “Demi persahabatan kita, aku akan memenuhi permintaanmu. Tapi dengan satu syarat, kembalikan ekorku seperti semula.” kata Sang Naga Besukih. “Baiklah, aku pun akan memenuhi syaratmu!” jawab Begawan Sidi Mantra. Maka dengan mengerahkan kekuatan mereka masing-masing, Manik Angkeran pun hidup kembali. Demikian pula dengan ekor Sang Naga Besukih bisa kembali utuh seperti semula. Dinasehatinya Manik Angkeran oleh Sang Naga Besukih dan Begawan Sidi Mantra secara panjang lebar dan setelah itu pulanglah Begawan Sidi Mantra ke Jawa Timur. Tetapi Manik Angkeran tidak boleh ikut pulang, ia harus tetap tinggal di sekitar Gunung Agung. Karena Manik Angkeran sudah sadar dan berubah, ia pun tidak membangkang dan menuruti perintah ayahnya tersebut. Dan dalam perjalanan pulangnya, ketika Begawan Sidi Mantra sampai di Tanah Benteng, di torehkannya tongkatnya ke tanah untuk membuat batas dengan anaknya. Seketika itu pula bekas torehan itu bertambah lebar dan air laut naik menggenanginya. Dan lama kelamaan menjadi sebuah selat. Selat itulah yang sekarang di beri nama “Selat Bali”. 3. Asal Mula Kota Balikpapan - Kalimantan Timur Kota Balikpapan sebenarnya hanyalah sebuah kotamadya, meski demikian kota Balikpapan lebih ramai ketimbang ibukota Kalimantan Timur yaitu kota Samarinda. Sarana dan prasarana kota Balikpapan lebih lengkap, seperti Bandar udara, pelabuhan dan hotel-hotel bertaraf internasional. Sehingga orang-orang di luar Kalimantan Timur lebih mengenal Balikpapan daripada Samarinda. Kota ini memang lebih dulu dikenal jauh sebelum Samarinda berkembang seperti sekarang. Balikpapan adalah kota perusahaan minyak bumi, sumber devisa bagi Kalimantan Timur, atau sebuah kota Pertamina sejak tahun 1889. pada saat itu pemerintahan dipimpin Sultan Kutai Kartanegara ke-17, Sulan Am Sulaiman. Menurut cerita rakyat yang masih hidup di kalangan masyarakat, konon pada tahun 1783 di tanah Pasir sudah berlangsung sistem pemerintahan kerajaan yang teratur, rakyat hidup berkecukupan. Kekuasaan Raja meliputi daerah yang sangat luas sampai kebagian selatan. Daerah itu berupa sebuah teluk yang indah dan mengandung hasil bumi dengan hasil laut yang cukup besar. Masyarakat yang bermukim di sepanjang teluk hidup sebagai petani dan nelayan. Mereka hidup dalam suasana yang damai dan makmur. Sultan yang memerintah pada waktu itu adalah Aji Muhammad. Sebuah nama yang melambangkan kebesaran dan kesucian jiwa pemiliknya. Aji Muhammad mempunyai seorang putri bernama Aji Tatin. Setelah dewasa, Aji Tatin menikah dengan seorang bangsawan Raja Kutai. Untuk masa depannya, Aji Tatin menuntut warisan kepada ayahnya. Aji Muhammad pun menyerahkan wilayah teluk, saat itu belum menjadi sebuah kota dan belum memiliki nama. Pada suatu hari, orang-orang kepercayaan Aji Tatin sedang memungut upeti dari rakyat berupa papan dengan menggunakan perahu. Ketika mereka sedang mendayung perahu menggunakan tanggar (galah) yang disebut tokong, tiba-tiba datanglah angin topan dahsyat. Perahu Aji Tatin terbalik diterpa badai. Para pendayung berusaha membawa perahu mereka merapat ke pantai, namun tidak berdaya karena diserang topan dan gelombang ganas. Tidak berapa lama, perahu pun terhempas ke sebuah pulau karang. Tokong (galah) pendayung patah dan perahu yang sarat muatan papan itu karam. Pemimpinnya, Panglima Sendong dan anak buahnya meninggal. Demikian asal usul nama Balikpapan yang diambil dari peristiwa perahu berisi papan yang terbalik diterpa badai. Pulau karang penyebab malapetaka itu akhirnya makin besar dan menjadi sebuah pulau yang ditumbuhi pohon-pohon. Pulau itu dinamakan Pulau Tukung sampai sekarang. 4. Asal Mula Danau Toba - Sumatra Utara Pada zaman dahulu adalah seorang petani bernama Toba yang menyendiri di sebuah lembah yang landai dan subur. Petani itu mengerjakan sawah dan ladang untuk keperluan hidupnya. Selain mengerjakan ladangnya, kadang-kadang lelaki itu pergi memancing ke sungai yang berada tak jauh dari rumahnya. Setiap kali dia memancing, mudah saja ikan didapatnya karena di sungai yang jernih itu memang banyak sekali ikan. Ikan hasil pancingannya dia masak untuk dimakan. Pada suatu sore, setelah pulang dari ladang lelaki itu langsung pergi ke sungai untuk memancing. Tetapi sudah cukup lama ia memancing tak seekor ikan pun didapatnya. Kejadian yang seperti itu,tidak pernah dialami sebelumnya. Sebab biasanya ikan di sungai itu mudah saja dia pancing. Karena sudah terlalu lama tak ada yang memakan umpan pancingnya, dia jadi kesal dan memutuskan untuk berhenti saja memancing. Tetapi ketika dia hendak menarik pancingnya, tiba-tiba pancing itu disambar ikan yang langsung menarik pancing itu jauh ketengah sungai. Hatinya yang tadi sudah kesal berubah menjadi gembira, Karena dia tahu bahwa ikan yang menyambar pancingnya itu adalah ikan yang besar. Setelah beberapa lama dia biarkan pancingnya ditarik ke sana kemari, barulah pancing itu disentakkannya, dan tampaklah seekor ikan besar tergantung dan menggelepar-gelepar di ujung tali pancingnya. Dengan cepat ikan itu ditariknya ke darat supaya tidak lepas. Sambil tersenyum gembira mata pancingnya dia lepas dari mulut ikan itu. Pada saat dia sedang melepaskan mata pancing itu, ikan tersebut memandangnya dengan penuh arti. Kemudian, setelah ikan itu diletakkannya ke satu tempat dia pun masuk ke dalam sungai untuk mandi. Perasaannya gembira sekali karena belum pernah dia mendapat ikan sebesar itu. Dia tersenyum sambil membayangkan betapa enaknya nanti daging ikan itu kalau sudah dipanggang. Ketika meninggalkan sungai untuk pulang kerumahnya hari sudah mulai senja. Setibanya di rumah, lelaki itu langsung membawa ikan besar hasil pancingannya itu ke dapur. Ketika dia hendak menyalakan api untuk memanggang ikan itu, ternyata kayu bakar di dapur rumahnya sudah habis. Dia segera keluar untuk mengambil kayu bakar dari bawah kolong rumahnya. Kemudian, sambil membawa beberapa potong kayu bakar dia naik kembali ke atas rumah dan langsung menuju dapur. Pada saat lelaki itu tiba di dapur, dia terkejut sekali karena ikan besar itu sudah tidak ada lagi. Tetapi di tempat ikan itu tadi diletakkan tampak terhampar beberapa keping uang emas. Karena terkejut dan heran mengalami keadaan yang aneh itu, dia meninggalkan dapur dan masuk ke kamar. Ketika lelaki itu membuka pintu kamar, tiba-tiba darahnya tersirap karena didalam kamar itu berdiri seorang perempuan dengan rambut yang panjang terurai. Perempuan itu sedang menyisir rambutnya sambil berdiri menghadap cermin yang tergantung pada dinding kamar. Sesaat kemudian perempuan itu tiba-tiba membalikkan badannya dan memandang lelaki itu yang tegak kebingungan di mulut pintu kamar. Lelaki itu menjadi sangat terpesona karena wajah perempuan yang berdiri dihadapannya luar biasa cantiknya. Dia belum pernah melihat wanita secantik itu meskipun dahulu dia sudah jauh mengembara ke berbagai negeri. Karena hari sudah malam, perempuan itu minta agar lampu dinyalakan. Setelah lelaki itu menyalakan lampu, dia diajak perempuan itu menemaninya kedapur karena dia hendak memasak nasi untuk mereka. Sambil menunggu nasi masak, diceritakan oleh perempuan itu bahwa dia adalah penjelmaan dari ikan besar yang tadi didapat lelaki itu ketika memancing di sungai. Kemudian dijelaskannya pula bahwa beberapa keping uang emas yang terletak di dapur itu adalah penjelmaan sisiknya. Setelah beberapa minggu perempuan itu menyatakan bersedia menerima lamarannya dengan syarat lelaki itu harus bersumpah bahwa seumur hidupnya dia tidak akan pernah mengungkit asal usul istrinya myang menjelma dari ikan. Setelah lelaki itu bersumpah demikian, kawinlah mereka. Setahun kemudian, mereka dikaruniai seorang anak laki-laki yang mereka beri nama Samosir. Anak itu sangat dimanjakan ibunya yang mengakibatkan anak itu bertabiat kurang baik dan pemalas. Setelah cukup besar, anak itu disuruh ibunya mengantar nasi setiap hari untuk ayahnya yang bekerja di ladang. Namun, sering dia menolak mengerjakan tugas itu sehingga terpaksa ibunya yang mengantarkan nasi ke ladang. Suatu hari, anak itu disuruh ibunya lagi mengantarkan nasi ke ladang untuk ayahnya. Mulanya dia menolak. Akan tetapi, karena terus dipaksa ibunya, dengan kesal pergilah ia mengantarkan nasi itu. Di tengah jalan, sebagian besar nasi dan lauk pauknya dia makan. Setibanya diladang, sisa nasi itu yang hanya tinggal sedikit dia berikan kepada ayahnya. Saat menerimanya, si ayah sudah merasa sangat lapar karena nasinya terlambat sekali diantarkan. Oleh karena itu, maka si ayah jadi sangat marah ketika melihat nasi yang diberikan kepadanya adalah sisa-sisa. Amarahnya makin bertambah ketika anaknya mengaku bahwa dia yang memakan sebagian besar dari nasinya itu. Kesabaran si ayah jadi hilang dan dia pukul anaknya sambil mengatakan: “Anak kurang ajar. Tidak tahu diuntung. Betul-betul kau anak keturunan perempuan yang berasal dari ikan!” Sambil menangis, anak itu berlari pulang menemui ibunya di rumah. Kepada ibunya dia mengadukan bahwa dia dipukuli ayahnya. Semua kata-kata cercaan yang diucapkan ayahnya kepadanya di ceritakan pula. Mendengar cerita anaknya itu, si ibu sedih sekali, terutama karena suaminya sudah melanggar sumpahnya dengan kata-kata cercaan yang dia ucapkan kepada anaknya itu. Si ibu menyuruh anaknya agar segera pergi mendaki bukit yang terletak tidak begitu jauh dari rumah mereka dan memanjat pohon kayu tertinggi yang terdapat di puncak bukit itu. Tanpa bertanya lagi, si anak segera melakukan perintah ibunya itu. Dia berlari-lari menuju ke bukit tersebut dan mendakinya. Ketika tampak oleh sang ibu anaknya sudah hampir sampai ke puncak pohon kayu yang dipanjatnya di atas bukit, dia pun berlari menuju sungai yang tidak begitu jauh letaknya dari rumah mereka itu. Ketika dia tiba di tepi sungai itu kilat menyambar disertai bunyi guruh yang megelegar. Sesaat kemudian dia melompat ke dalam sungai dan tiba-tiba berubah menjadi seekor ikan besar. Pada saat yang sama, sungai itu pun banjir besar dan turun pula hujan yang sangat lebat. Beberapa waktu kemudian, air sungai itu sudah meluap kemana-mana dan tergenanglah lembah tempat sungai itu mengalir. Pak Toba tak bisa menyelamatkan dirinya, ia mati tenggelam oleh genangan air. Lama-kelamaan, genangan air itu semakin luas dan berubah menjadi danau yang sangat besar yang di kemudian hari dinamakan orang Danau Toba. Sedang Pulau kecil di tengah-tengahnya diberi nama Pulau Samosir. ============================================ Ebook Cersil, Teenlit, Novel (www.zheraf.net) Gudang Ebook Ponsel http://www.ebookHP.com ============================================ 5. Asal Mula Reog Ponorogo - Jawa Timur Dahulu kala ada seorang puteri yang cantik jelita bernama Dewi Sanggalangit. Ia puteri seorang raja yang terkenal di Kediri. Karena wajahnya yang cantik jelita dan sikapnya yang lemah lembut banyak para pangeran dan raja-raja yang ingin meminangnya untuk dijadikan sebagai istri. Namun sayang Dewi Sanggalangit nampaknya belum berhasrat untuk berumah tangga. Sehingga membuat pusing kedua orang tuanya. Padahal kedua orang tuanya sudah sangat mendambakan hadirnya seorang cucu. “Anakku, sampai kapan kau akan menolak setiap pangeran yang datang melamarmu?” tanya Raja pada suatu hari. “Ayahanda… sebenarnya hamba belum berhasrat untuk bersuami. Namun jika ayahanda sangat mengharapkan, baiklah. Namun hamba minta syarat, calon suami hamba harus bisa memenuhi keinginan hamba.” “Lalu apa keinginanmu itu?” “Hamba belum tahu…” “Lho? Kok aneh…?” sahut Baginda. “Hamba akan bersemedi minta petunjuk Dewa. Setelah itu hamba akan menghadap ayahanda untuk menyampaikan keinginan hamba.” Demikianlah, tiga hari tiga malam Dewi Sanggalangit bersemedi. Pada hari keempat ia menghadap ayahandanya. “Ayahanda, calon suami hamba harus mampu menghadirkan suatu tontonan yang menarik. Tontonan atau keramaian yang belum ada sebelumnya. Semacam tarian yang diiringi tabuhan dan gamelan. Dilengkapi dengan barisan kuda kembar sebanyak seratus empat puluh ekor. Nantinya akan dijadikan iringan pengantin. Terakhir harus dapat menghadirkan binatang berkepala dua.” “Wah berat sekali syaratmu itu!” sahut Baginda. Meski berat syaratnya itu tetap diumumkan kepada segenap khalayak ramai. Siapa saja boleh mengikuti sayembara itu. Tidak peduli para pangeran, putera bangsawan atau rakyat jelata. Para pelamar yang tadinya menggebu-gebu untuk memperistri Dewi Sanggalangit jadi ciut nyalinya. Banyak dari mereka yang mengundurkan diri karena merasa tak sanggup memenuhi permintaan sang Dewi. Akhirnya tinggal dua orang yang menyatakan sanggup memenuhi permintaan Dewi Sanggalangit. Mereka adalah Raja Singabarong dari Kerajaan Lodaya dan Raja Kelanaswandana dari Kerajaan Bandarangin. Baginda Raja sangat terkejut mendengar kesanggupan kedua raja itu. Sebab Raja Singabarong adalah manusia yang aneh. Ia seorang manusia yang berkepala harimau. Wataknya buas dan kejam. Sedang Kelanaswandana adalah seorang raja yang berwajah tampan dan gagah, namun punya kebiasaan aneh, suka pada anak laki-laki. Anak laki-laki itu dianggapnya sebagai gadis-gadis cantik. Namun semua sudah terlanjur, Dewi Sanggalangit tidak bisa menggagalkan persyaratan yang telah diumumkan. Raja Singabarong dari Kerajaan Lodaya memerintah dengan bengis dan kejam. Semua kehendaknya harus dituruti. Siapa saja dari rakyatnya yang membangkang tentunya akan dibunuh. Raja Singabarong bertubuh tinggi besar. Dari bagian leher ke atas berwujud harimau yang mengerikan. Berbulu lebat dan penuh dengan kutu-kutu. Itulah sebabnya ia memelihara seekor burung merak yang rajin mematuki kutu-kutunya. Ia sudah mempunyai selir yang jumlahnya banyak sekali. Namun belum mempunyai permaisuri. Menurutnya sampai detik ini belum ada wanita yang pantas menjadi permaisurinya, kecuali Dewi Sanggalangit dari Kediri. Karena itu ia sangat berharap dapat memenuhi syarat yang diajukan oleh Dewi Sanggalangit. Raja Singabarong telah memerintahkan kepada para abdinya untuk mencarikan kuda-kuda kembar. Mengerahkan para seniman dan seniwatinya menciptakan tontonan yang menarik, dan mendapatkan seekor binatang berkepala dua. Namun pekerjaan itu ternyata tidak mudah. Kuda kembar sudah dapat dikumpulkan, namun tontonan dengan kreasi baru belum tercipta, demikian pula binatang berkepala dua belum didapatkannya. Maka pada suatu hari ia memanggil patihnya yang bernama Iderkala. “Hai Patih coba kamu selidiki sampai bagaimana si Kelanaswandana mempersiapkan permintaan Dewi Sanggalangit. Kita jangan sampai kalah cepat oleh Kelanaswandana.” Patih Iderkala dengan beberapa prajurit pilihan segera berangkat menuju kerajaan Bandarangin dengan menyamar sebagai seorang pedagang. Mereka menyelidiki berbagai upaya yang dilakukan oleh Raja Kelanaswandana. Setelah melakukan penyelidikan dengan seksama selama lima hari mereka kembali ke Lodaya. “Ampun Baginda. Kiranya si Kelanaswandana hampir berhasil mewujudkan permintaan Dewi Sanggalangit. Hamba lihat lebih dari seratus ekor kuda kembar telah dikumpulkan. Mereka juga telah menyiapkan tontonan yang menarik, yang sangat menakjubkan.” Patih Iderkala melaporkan. “Wah celaka! Kalau begitu sebentar lagi dia dapat merebut Dewi Sanggalangit sebagai istrinya.” kata Raja Singabarong. “Lalu bagaimana dengan binatang berkepala dua, apa juga sudah mereka siapkan?” “Hanya binatang itulah yang belum mereka siapkan. Tapi nampaknya sebentar lagi mereka dapat menemukannya.” sambung Patih Iderkala. Raja Singabarong menjadi gusar sekali. Ia bangkit berdiri dari kursinya dan berkata keras. “Patih Iderkala! Mulai hari ini siapkan prajurit pilihan dengan senjata yang lengkap. Setiap saat mereka harus siap diperintah menyerbu ke Bandarangin.” Demikianlah, Raja Singabarong bermaksud merebut hasil usaha keras Raja Kelanaswandana. Setelah mengadakan persiapan yang matang, Raja Singabarong memerintahkan prajurit mata-mata untuk menyelidiki perjalanan yang akan ditempuh Raja Kelanaswandana dari Wengker menuju Kediri. Rencananya Raja Singabarong akan menyerbu mereka di perjalanan dan merampas hasil usaha Raja Kelanaswandana untuk diserahkan sendiri kepada Dewi Sanggalangit. Raja Kelanaswandana yang memerintah kerajaan Wengker berwajah tampan dan bertubuh gagah. Ia memerintah dengan adil dan bijaksana. Namun ada wataknya yang tidak baik, ia suka mencumbui anak laki-laki. Ia menganggap anak laki-laki yang berwajah tampan dan bertubuh molek itu seperti gadis-gadis remaja. Hal ini sangat mencemaskan pejabat kerajaan dan para pendeta. Menimbulkan kesedihan bagi para rakyat yang harus kehilangan anak laki-lakinya sebagai pemuas nafsu Raja. Patih Pujanggeleng dan pendeta istana sudah berusaha menasehati Raja agar meninggalkan kebiasaan buruknya itu namun saran mereka tiada gunanya. Raja tetap saja mengumpulkan puluhan anak laki-laki yang berwajah tampan. Pada suatu hari Raja Kelanaswandana memanggil semua pejabat kerajaan dan para pendeta. Ia berkata bahwa ia akan menghentikan kebiasaannya jika dapat memperistri Dewi Sanggalangit dari Kediri. Sebab semalam ia mimpi bertemu dengan gadis cantik jelita itu dalam tidur. Menurut para Dewa gadis itulah yang akan menghentikan kebiasaan buruknya mencumbui anak laki-laki. Seluruh pejabat dan pendeta menyetujui kehendak Raja yang ingin memperistri Dewi Sanggalangit. Maka ketika mereka mendengar persyaratan yang diajukan Dewi Sanggalagit, mereka tiada gentar, seluruh kawula kerajaan, baik para pejabat, seniman, rakyat biasa rela bekerja keras guna memenuhi permintaan Dewi Sanggalangit. Karena mendapat dukungan seluruh rakyatnya maka dalam tempo yang tidak begitu lama Raja Kelanaswandana dapat menyiapkan permintaan Dewi Sanggalangit. Hanya binatang berkepala dua yang belum didapatnya. Patih Pujanggeleng yang bekerja mati-matian mencarikan binatang itu akhirnya angkat tangan, menyatakan ketidaksanggupannya kepada Raja. “Tidak mengapa!” kata Raja Kelanaswandana. ”Soal binatang berkepala dua itu aku sendiri yang akan mencarinya. Sekarang tingkatkan kewaspadaan, aku mencium gelagat kurang baik dari kerajaan tetangga.” “Maksud Baginda?” tanya Patih Pujanggeleng penasaran. “Coba kau menyamar jadi rakyat biasa, berbaurlah dengan penduduk di pasar dan keramaian lainnya.” Perintah itu dijalankan, maka Patih Pujanggeleng mengerti maksud Raja. Ternyata ada penyusup dari kerajaan Lodaya. Mereka adalah para prajurit pilihan yang menyamar sebagai pedagang keliling. Patih Pujanggeleng yang juga mengadakan penyamaran serupa akhirnya dapat mengorek keterangan secara halus apa maksud prajurit Lodoya itu datang ke Bandarangin. Prajurit Lodaya merasa girang setelah mendapatkan keterangan yang diperlukan. Ia bermaksud kembali ke Lodoya. Namun sebelum melewati perbatasan, anak buah Patih Pujanggeleng sudah mengepungnya, karena prajurit itu melawan maka terpaksa para prajurit Bandarangin membunuhnya. Patih Pujanggeleng menghadap Raja Kelanaswandana. “Apa yang kau dapatkan?” tanya Raja Kelanaswandana. “Ada penyusup dari kerajaan Lodaya yang ingin mengorek keterangan tentang usaha Baginda memenuhi persyaratan Dewi Sanggalangit. Raja Singabarong hendak merampas usaha Baginda dalam perjalanan menuju Kediri.” “Kurang ajar!“ sahut Raja Kelanaswandana. “Jadi Raja Singabarong akan menggunakan cara licik untuk memperoleh Dewi Sanggalangit. Kalau begitu kita hancurkan kerajaan Lodaya. Siapkan bala tentara kita.” Sementara itu Raja Singabarong yang menunggu laporan dari prajurit mata-mata yang dikirim ke Bandarangin nampak gelisah. Ia segera memerintahkan Patih Iderkala menyusul ke perbatasan. Sementara dia sendiri segera pergi ke tamansari untuk menemui si burung merak, karena pada saat itu kepalanya terasa gatal sekali. “Hai burung merak! Cepat patukilah kutu-kutu di kepalaku!” teriak Raja Singabarong dengan gemetaran menahan gatal. Burung merak yang biasa melakukan tugasnya segera hinggap di bahu Raja Singabarong lalu mematuki kutu-kutu di kepala Raja Singabarong. Patukan-patukan si burung merak terasa nikmat, asyik, bagaikan buaian sehingga Raja Singabarong terlena dan akhirnya tertidur. Ia sama sekali tak mengetahui keadaan di luar istana. Karena tak ada prajurit yang berani melapor kepadanya. Memang sudah diperintahkan kepada prajurit bahwa jika ia sedang berada di taman sari siapapun tidak boleh menemui dan mengganggunya, jika perintah itu dilanggar maka pelakunya akan dihukum mati. Karena tertidur ia sama sekali tak mengetahui jika di luar istana pasukan Bandarangin sudah datang menyerbu dan mengalahkan prajurit Lodaya. Bahkan Patih Iderkala yang dikirim ke perbatasan telah binasa lebih dahulu karena berpapasan dengan pasukan Bandarangin. Ketika peperangan itu sudah merembet ke dalam istana dekat tamansari barulah Raja Singabarong terbangun karena mendengan suara ribut-ribut. Sementara si burung mereka masih terus bertengger mematuki kutu-kutu dikepalanya, jika dilihat sepintas dari depan Raja Singabarong seperti binatang berkepala dua yaitu berkepala harimau dan burung merak. “Hai mengapa kalian ribut-ribut?” teriak Raja Singabarong. Tak ada jawaban, kecuali berkelebatnya bayangan seseorang yang tak lain adalah Raja Kelanaswandana. Raja Bandarangin itu tahu-tahu sudah berada di hadapan Raja Singabarong. Raja Singabarong terkejut sekali. “Hai Raja Kelanaswandana mau apa kau datang kemari?” “Jangan pura-pura bodoh!” sahut Raja Kelanaswandana. “Bukankah kau hendak merampas usahaku dalam memenuhi persyaratan Dewi Sanggalangit!” “Hem, jadi kau sudah tahu!” sahut Raja Singabarong dengan penuh rasa malu. “Ya, maka untuk itu aku datang menghukummu!” berkata demikian Raja Kelanaswandana mengeluarkan kesaktiannya. Diarahkan ke bagian kepala Raja Singabarong. Seketika kepala Singabarong berubah. Burung merak yang bertengger di bahunya tiba-tiba melekat jadi satu dengan kepalanya sehingga Raja Singabarong berkepala dua. Raja Singabarong marah bukan kepalang, ia mencabut kerisnya dan meloncat menyerang Raja Kelanaswandana. Namun Raja Kelanaswandana segera mengayunkan cambuk saktinya bernama Samandiman. Cambuk itu dapat mengeluarkan hawa panas dan suaranya seperti halilintar. “Jhedhaaar…!” begitu terkena cambuk Samandiman, tubuh Raja Singabarong terpental, menggelepar-gelepar di atas tanah. Seketika tubuhnya terasa lemah dan anehnya tiba-tiba tubuhnya berubah menjadi binatang aneh, berkepala dua yaitu kepala harimau dan merak. Ia tidak dapat berbicara dan akalnya telah hilang. Raja Kelanaswandana segera memerintahkan prajurit Bandarangin untuk menangkap Singabarong dan membawanya ke negeri Bandarangin. Beberapa hari kemudian Raja Kelanaswandana mengirim utusan yang memberitahukan Raja Kediri bahwa ia segera datang membawa persyaratan Dewi Sanggalangit. Raja Kediri langsung memanggil Dewi Sanggalangit. “Anakku apa kau benar-benar bersedia menjadi istri Raja Kelanaswandana?” “Ayahanda… apakah Raja Kelanaswandana sanggup memenuhi persyaratan hamba?” “Tentu saja, dia akan datang dengan semua persyaratan yang kau ajukan. Masalahnya sekarang, tidakkah kau menyesal menjadi istri Raja Kelanaswandana?” “Jika hal itu sudah jodoh hamba akan menerimanya. Siapa tahu kehadiran hamba disisinya akan merubah kebiasaan buruknya itu.” tutur Dewi Sanggalangit. Demikianlah, pada hari yang ditentukan datanglah rombongan Raja Kelanaswandana dengan kesenian Reog sebagai pengiring. Raja Kelanaswandana datang dengan iringan seratus empat puluh empat ekor kuda kembar, dengan suara gamelan, gendang dan terompet aneh yang menimbulkan perpaduan suara aneh, merdu mendayu-dayu. Ditambah lagi dengan hadirnya seekor binatang berkepala dua yang menari-nari liar namun indah dan menarik hati. Semua orang yang menonton bersorak kegirangan, tanpa terasa mereka ikut menari-nari dan berjingkrak-jingkrak kegirangan mengikuti suara musik. Demikianlah, pada akhirnya Dewi Sanggalangit menjadi permaisuri Raja Kelanaswandana dan diboyong ke Bandarangin di Wengker. Wengker adalah nama lain dari Ponorogo sehingga di kemudian hari kesenian Reog itu disebut Reog Ponorogo. 6. Batu Menangis - Kalimantan Barat Di sebuah desa terpencil, tinggallah seorang gadis dan ibunya. Gadis itu cantik, tapi sayangnya ia sangat malas. Ia sama sekali tak mau membantu ibunya mencari nafkah. Setiap hari gadis itu hanya berdandan dan mengagumi kecantikannya di cermin. Selain malas, gadis itu pun juga manja. Apa pun yang dimintanya, harus selalu dikabulkan. Tentu saja keadaan ini membuat ibunya sangat sedih. Suatu hari, ibunya meminta anak gadisnya menemaninya ke pasar. “Boleh saja, tapi aku tak mau berjalan bersama-sama dengan Ibu. Ibu harus berjalan di belakangku,” katanya. Walaupun sedih, ibunya mengiyakan. Maka berjalanlah mereka berdua menuruni bukit beriringan. Sang gadis berjalan di depan, sang ibu berjalan di belakang sambil membawa keranjang. Walaupun mereka ibu dan anak, mereka kelihatan berbeda. Seolah-olah mereka bukan berasal dari keluarga yang sama. Bagaimana tidak? Anaknya yang cantik berpakaian sangat bagus. Sedang ibunya kelihatan tua dan berpakaian sangat sederhana. Di perjalanan, ada orang menyapa mereka. “Hai gadis cantik, apakah orang yang di belakangmu ibumu?” tanya orang itu. “Tentu saja bukan. Dia adalah pembantuku,” kata gadis itu. Betapa sedihnya ibunya mendengarnya. Tapi dia hanya diam. Hatinya menangis. Begitulah terus menerus. Setiap ada orang yang menyapa dan menanyakan siapa wanita tua yang bersamanya, si gadis selalu menjawab itu pembantunya. Lama-lama sang ibu sakit hatinya. Ia pun berdoa . “Ya, Tuhan, hukumlah anak yang tak tahu berterima kasih ini,” katanya. Doa ibu itu pun didengarnya. Pelan-pelan, kaki gadis itu berubah menjadi batu. Perubahan itu terjadi dari kaki ke atas. “Ibu, ibu! Ampuni saya. Ampuni saya!” serunya panik. Gadis itu terus menangis dan menangis. Namun semuanya terlambat. Seluruh tubuhnya akhirnya menjadi batu. Walaupun begitu, orang masih bisa melihatnya menitikkan air mata. Karenanya batu itu diberi nama “Batu Menangis”. 7. Joko Kendil Pada zaman dahulu, hiduplah seorang wanita dengan anak laki-lakinya. Anak itu mempunyai bentuk fisik yang aneh. Badannya mirip dengan periuk. Karena itulah orang menyebutkan Joko Kendil*. Walaupun tubuh Joko tidak normal, ibunya mencintainya apa adanya. Ia juga tak pernah menyesali nasib anaknya. Apa pun yang diminta Joko, ia selalu berusaha mengabulkannya. Joko tumbuh sebagai anak yang bahagia. Ia dikenal sebagai anak yang jenaka. Tapi kadang-kadang Joko juga nakal. Ia sering ke pasar, lalu ia duduk di dekat pedagang. Pedagang mengira, Joko itu sebuah periuk. Sehingga ia menaruh sebagian makanannya di atas tubuh Joko. Ia juga sering menyelinap ke pesta. Orang menyangka Joko itu periuk biasa, sehingga orang itu menaruh makanan di sana. Kemudian dengan diam-diam Joko pulang dan membawa makanan untuk ibunya. Ibu Joko marah melihat kenakalan Joko. Ia menyangka Joko mencuri. Joko lalu menjelaskan, kalau semua orang menyangka dirinya periuk. Ibunya pun tertawa mendengarnya. Ketika Joko tumbuh dewasa, tubuh Joko tetap mirip periuk. Tapi yang mengherankan, Joko justru meminta ibunya mencarikan istri untuknya. Tidak tanggung-tanggung, Joko menginginkan putri raja sebagai istrinya. Tentu saja Ibunya kaget sekali. “Ingat Joko, kita ini orang miskin. Lagi pula, apakah kau tidak menyadari bentuk tubuhmu?” tanya Ibunya. “Jangan khawatir, Ibu. Percayalah, semuanya akan baik-baik saja. Sekali lagi, saya minta tolong, agar Ibu melamar putri raja untuk dijadikan istriku,” ujar Joko menghibur Ibunya. Dengan hati penuh keraguan, Ibu Joko pergi menghadap Raja. Raja mempunyai tiga putri yang cantik. Ibu Joko mengungkapkan keinginan anaknya pada Raja. Raja sama sekali tidak marah mendengar penuturan Ibu Joko. Sebaliknya, Raja meneruskan lamaran itu pada ketiga putrinya. Putri Sulung mengatakan, ”Saya tak sudi, Ayahanda. Saya menginginkan suami yang kaya raya.” Putri Tengah mengatakan, ”Suami yang saya inginkan? Seorang raja seperti Ayahanda.” Berbeda dengan ketiga kakaknya, Putri Bungsu justru menerima pinangan itu dengan senang hati. Raja sangat heran. Tapi karena Putri Bungsu sudah setuju, ia tak dapat mencegah pernikahan itu. Sayangnya, Putri Bungsu selalu diejek kedua kakaknya. “Suamimu berjalan mirip bola menggelinding,” ejek Putri Sulung. “Suamimu mirip tempayan air,” ejek Putri Tengah. Putri Bungsu sedih. Tapi ia berusaha sabar dan tabah. Suatu hari, Raja mengadakan lomba ketangkasan. Tapi Joko tidak bisa ikut. Ia mengatakan pada Raja, badannya sakit. Lomba ketangkasan itu diikuti banyak orang penting seperti para pangeran dan panglima. Mereka berlomba naik kuda dan menggunakan senjata. Tiba-tiba datang seorang ksatria gagah. Ia sangat tampan dan tangkas menggunakan senjata. Putri Sulung dan Putri Tengah senang sekali melihatnya. Mereka jatuh cinta pada ksatria itu. Ia kembali mengejek adiknya, karena terburu-buru menikahi Joko Kendil. Putri Bungsu pun berlari ke kamarnya sambil menangis. Di sana ia melihat sebuah kendi. Karena kesal, ia membanting kendi itu hingga berkeping-keping. Ksatria gagah itu masuk ke dalam kamar Putri Bungsu. Ia mencari kendi, tapi kendi itu sudah hancur. Lalu ia melihat Putri Bungsu menangis tersedu-sedu. “Ada apa istriku?” tanyanya. Tentu saja Putri Bungsu kaget. Bukankah suaminya adalah Joko Kendil? Lalu ksatria itu menceritakan dirinya yang sebenarnya. Ia sebenarnya Joko Kendil, suaminya. Ia selama ini harus memakai pakaian dalam bentuk kendi. Tapi ia dapat kembali menjelma menjadi ksatria kalau seorang putri mau menikah dengannya. Begitu tahu kalau ksatria tampan itu Joko Kendil, betapa menyesalnya Putri Sulung dan Putri Tengah. Sebaliknya dengan Putri Bungsu, ia menjadi sangat bahagia bersama Joko Kendil yang telah menjelma menjadi pria yang rupawan. *Orang Jawa menyebut periuk = kendil. 8. Balasan Bagi Tukang Sihir Dahulu ada seorang pemuda miskin, bernama Akib. Ia tidak mempunyai orang tua maupun saudara. Untuk menyambung hidup, ia bekerja sebagai pengumpul kayu bakar. Kayu-kayu itu dijualnya pada tetangga yang membutuhkan. Ia menjalani hidup ini dengan hati lapang, mau menerima nasib dengan apa adanya tanpa mengurangi usaha yang keras, bekerja mencari nafkah. Suatu siang, ketika tengah mencari kayu, Akib dikejutkan oleh kikik tawa nan amat menggidikkan. Dengan cepat, Akib bersembunyi. Tak jauh dari tempatnya berdiri tampak seorang nenek kurus, bungkuk, berjubah hitam dekil, dan dengan rambut putih yang beriap. Ia mengikik seram. Matanya jelalatan kesana kemari. “Hikhikhik! Nah, itu bunga-bunga yang aku cari!” ujar si Nenek. Ia melangkah kesemak-semak lebat tempat Akib bersembunyi. Akib sangat takut, sebab ia tahu siapa nenek itu. Ia adalah Ninik Plerek, tukang sihir yang sangat jahat. Akib menahan nafas. Di depan, Ninik Plerek dilihatnya berjongkok. Nenek itu kemudian memetik dua bunga pagi sore yang tengah kuncup, warna merah dan warna kuning. Dengan penuh peluh dingin, Akib memperhatikan. “Hikhikhik! Kedua bunga ini,” sambung si Nenek, “Akan aku sisipkan dalam rangkaian bunga yang telah kubuat, lalu kuberikan pada Putri Sekar. Bila sang putri menciumnya, hikhikhik, Ia akan tertidur lelap. Tak ada yang bisa membangunkannya kecuali aku. Padahal, obatnya mudah sekali, yakni dengan meneteskan air rendaman bunga pagi sore, warna merah dan warna kuning, yang tengah mekar kemulut sang Putri. Hikhikhik! Bila Prabu Sangga memintaku menyembuhkannya aku akan lakukan. Tetapi dengan syarat, ia harus mengawiniku dulu! Hikhikhik! Aku harus dijadikan permaisuri!” Nini Plerek lalu pergi. Jantung Akib berdebar kencang. Ia secara tak sengaja telah mengetahui rahasia besar. Rencana busuk dari seorang tukang sihir atau tukang tenung. Beberapa hari kemudian, tersiar kabar bahwa Putri Sekar mengidap penyakit aneh. Ia tak mau bangun dari tidurnya. Diguncang tak mau bangun. Diteriaki suara keras ditelinganya ia tetap pulas. r Prabu Sangga sangat bingung. Seluruh dukun dan tabib diundang untuk menyadarkan sang Puti. Namun tak ada yang mampu menggugah sang Putri. Sang Prabu bermaksud mengadakan sayembara bahwa siapa yang bisa menyembuhkan sang putri, jika lelaki akan dijadikan suaminya, jika perempuan akan dijadikan saudara sang putri. Sebelum sayembara itu di umumkan seorang pemuda tiba-tiba datang ke istana. Pemuda itu tak lain adalah Akib. “Apa maksudmu datang kemari anak muda?” tanya Prabu Sangga. “Hamba ingin memastikan apakah benar Tuan Putri menderita sakit tak bisa bangun dari tidurnya?” “Ya benar, dari mana kau tahu?” “Secara kebetulan hamba mengetahui siapa yang mengguna-gunai Tuan Putri.” kata Akib. “Lalu apakah kau bisa menyembuhkan anakku?” “Hamba akan berusaha, besok pagi hamba datang lagi kemari.” “Mengapa harus besok pagi, kalau bisa lakukan saja sekarang.” “Hamba harus mecari bahan ramuan untuk menyadarkan Tuan Putri.” “Baiklah, aku ijinkan kau datang kemari besok pagi.”kata sang Prabu. Esok paginya Akib datang ke istana setelah memetik dua bunga pagi sore yang sedang mekar warna merah dan warna kuning. Di istana, ia merendam buga-bunga itu. Air rendaman kedua bunga itu diteteskan ke mulut Putri Sekar. Ajaib, sang Putri sekatika bangun. Prabu Sangga senang sekali. “Anak muda kau hebat sekali." kata Prabu Sangga. “Ah, hamba hanya kebetulan saja mengetahui rahasia orang yang mencelakakan Tuan Putri.“ sahut Akib dengan rendah hati. “Siapa orangnya?” tanya Prabu Sangga. “Nini Plerek, Gusti Prabu.....!” “Hah?” “Apa maksudnya berbuat demikian?” “Dia ingin dijadikan permaisuri.” Sementara itu pada saat yang sama dipintu gerbang para prajurit sedang menghadang seorang wanita berambut riap-riapan. “Aku adalah Nini Plerek! Biarkan aku masuk, hanya aku yang bisa menyembuhkan Tuan Putri Sekar, hik...hik...hik...hiiiik...! Terima kasih, terima kasih ternyata Gusti Prabu sendiri yang berkenan menyambutku.” “Nini Plerek apakah kau bermaksud menyembuhkan Putriku?” “Benar Gusti Prabu, tapi ada syaratnya. Gusti Prabu harus berkenan menjadikan hamba permaisuri. Barulah hamba bersedia menolong Tuan Putri.” “Jadi benar kau yang mencelakakan putriku. Hai pengawal tangkap wanita keji ini!” kata Prabu Sangga dengan penuh wibawa. “Apa? Berani menangkapku? Bagaimana dengan Tuan Putri?” “Aku tidak perlu bantuanmu wanita jahat!” Para pengawal segera menangkap Nini Plerek dan di masukkan kedalam penjara. Sementara Akib akhirnya dijodohkan dengan Putri Sekar. 9. Joko Samodra - Jawa Timur Pada suatu malam ada perahu dagang dari Gresik melintasi selat Bali. Ketika perahu itu berada di tengah-tengah Selat Bali tiba-tiba terjadi keanehan, perahu itu tidak dapat bergerak, maju tak bisa mundur pun tak bisa. Nahkoda memerintahkan awak kapal untuk memeriksa sebab-sebab kemacetan itu, mungkin perahunya membentur batu karang. Setelah diperiksa ternyata perahu itu hanya menabrak sebuah peti berukir indah, seperti peti milik kaum bangsawan yang digunakan untum menyimpan barang berharga. Nakoda memerintahkan mengambil peti itu. Diatas perahu peti itu dibuka, semua orang terkejut karena didalamnya terdapat seorang bayi mungil yang bertubuh montok dan rupawan. Nakoda merasa gembira dapat menyelamatkan jiwa si bayi mungil itu, tapi juga mengutuk yang tega membuang bayi itu ke tengah lautan, sungguh orang yang tidak berperi kemanusiaan. Nakoda kemudian memerintahkan awak kapal untuk melanjutkan pelayaran ke Pulau Bali. Tetapi tak dapat bergerak maju. Ketika perahu diputar dan diarahkan ke Gresik ternyata perahu itu melaju dengan pesatnya. Di hadapan Nyai Ageng Pinatih janda kaya pemilik kapal Nakoda berkata sambil membuka peti itu. “Peti inilah yang menyebabkan kami kembali dalam waktu secepat ini. Kami tak dapat meneruskan pelayaran ke Pulau Bali,“ kata sang nakoda. “Bayi......? Bayi siapa ini?” gumam Nyai Ageng Pinatih sebari mengangkat bayi itu dari dalam peti. “Kami menemukannya di tengah samodra Selat Bali," jawab nakoda kapal. Bayi itu kemudian mereka serahkan kepada Nyai Ageng Pinatih untuk diambil sebagai anak angkat. Memang sudah lama ia menginginkan seorang anak. Karena bayi itu ditemukan di tengah samodra maka Nyai Ageng Pinatih kemudian memberinya nama Joko Samodra. Ketika berumur 11 tahun, Nyai Ageng Pinatih mengantarkan Joko Samodra untuk berguru kepada Raden Rahmat atau Sunan Ampel di Surabaya. Menurut beberapa sumber mula pertama Joko Samodra setiap hari pergi ke Surabaya dan sorenya kembali ke Gresik. Sunan Ampel kemudian menyarankan agar anak itu mondok saja di pesantren Ampeldenta supaya lebih konsentrasi dalam mempelajari agama Islam. Pada suatu malam, seperti biasa Raden Rahmat hendak mengambil air wudhu guna melaksnakan shalat tahajjud, mendo'akan murid-muridnya dan mendo'akan umat agar selamat di dunia dan akhirat. Sebelum berwudhu Raden Rahmat menyempatkan diri melihat-lihat para santri yang tidur di asrama. Tiba-tiba Raden Rahmat terkejut. Ada sinar terang memancar dari salah seorang santrinya. Selama beberapa saat beliau tertegun, sinar terang itu menyilaukan mata, untuk mengetahui siapakah murid yang wajahnya bersinar itu maka Sunan Ampel memberi ikatan pada sarung murid itu. Esok harinya, sesudah shalat subuh. Sunan Ampel memanggil murid-muridnya itu. “Siapa yang waktu bangun tidur kain sarungnya ada ikatan?” tanya Sunan Ampel. “Saya Kanjeng Sunan......” acung Joko Samodra. Melihat yang mengacungkan tangan Joko Samodara, Sunan Ampel makin yakin bahwa anak itu pastilah bukan anak sembarangan. Kebetulan pada saat itu NyaiAgeng Pinatih datang untuk menengok Joko Samodra. Kesempatan itu digunakan Sunan Ampel untuk bertanya lebih jauh tentang asal-usul Joko Samodra. Nyai Ageng Pinatih menjawab sejujur-jujurnya. Bahwa Joko Samodra di temukan di tengah selat Bali ketika masih bayi. Peti yang digunakan membuang bayi itu hingga sekarang masih tersimpan rapi di rumah Nyai Ageng Pinatih. Teringat pada pesan Syekh Maulana Ishak sebelum berangkat ke negeri Pasai maka Sunan Apel kemudian mengusulkan pada Nyai Ageng Pinatih agar nama anak itu diganti denagan nama Raden Paku. Nyai Ageng Pinatih menurut saja apa kata Sunan Ampel, dia percaya penuh kepada Wali besar yang sangat dihormati masyarakat bahkan juga masih terhitung seorang Pangeran Majapahit itu ============================================ Ebook Cersil, Teenlit, Novel (www.zheraf.net) Gudang Ebook Ponsel http://www.ebookHP.com ============================================ 10. Buah Kecerdikan Dahulu di Ngkeran ada seorang raja bernama Wan Periedede. Raja tersebut terkenal kaya raya. Baginda juga terkenal adil dan bijaksana. Kepada rakyatnya pun raja amat pemurah. Raja mempunyai tiga orang adik. Nama adik baginda itu Tara, Tare, dan Taru. Seluruh rakyat sangat hormat pada raja yang bijaksana itu. Suatu hari raja jatuh sakit. Tak lama kemudian, baginda meninggal. Raja meninggalkan seorang istri yang masih muda, serta dua orang putri, yaitu Periedende dan Periedendu. Pada upacara pemakaman raja, tampak rakyat berbondong-bondong kepemakaman. Hari berduka negeri berlangsung beberapa hari lamanya. Seluruh upacara duka ini diserahkan permaisuri kepada Tara, adik suaminya. Pada malam terakhir upacara berduka, Tara menyampaikan pidato sambutan. Isinya antara lain, mengucapkan terimakasih kepada seluruh pejabat dan rakyat. Dalam pidatonya, Tara juga menyampaikan pengumuman kepada seluruh hadirin bahwa sebagai pengganti abangnya, dia akan melanjutkan pemerintahan. Pada suatu hari, Tara mengundang Tare, Taru dan kakak iparnya janda almarhum raja, abangnya. Dalam pertemuan itu, Tara mengatakan kepada kakak iparnya agar barang perhiasan, permata, uang yang ditinggalkan abangnya diserahkan kepada Tare. Ini semua dianjurkan mengingat kalau-kalau nanti ada pencuri atau perampok yang bermaksud jahat. “Sawah dan ladang sebaiknya diserahkan saja kepada Taru,” kata Tara “Biarlah dia yang mencari orang yang akan mengerjakannya.” “Adapun mengenai padi di lumbung dan harta lainnya yang kakak simpan di rumah, serahkan kepada saya. Saya akan mengurus supaya lebih aman,” kata Tara kepada kakak iparnya. Mendengar itu semua, janda raja terkejut. Segala kebijaksanaan adiknya seperti bertentangan dengan dirinya sendiri. Namun, bila di tolak ia khawatir akan terjadi pertentangan. Boleh jadi ia akan dipulangkan ke kampungnya, sedangkan ia sangat sayang kepada dua putrinya, Periedende dan Periedendu. Selama beberapa bulan saja memerintah, Raja Tara sudah tampak berbeda dengan abangnya almarhum. Tara serakah akan kekeuasaan dan harta. Kehidupan rakyat mulai susah. Rakyatpun mulai merasa tak senang kepada Tara. Kehidupan kakak ipar dan kedua anaknya pun tak diperhatikan Raja Tara. Malah mereka ditempatkan ditempat pengasingan. Ketika persediaan perbekalan ditempat pengasingan sudah habis, kakak iparnya datang ke rumah adik-adiknya. Ia menceritakan bahwa persediaan makanan sudah habis. Ia mengharapkan bantuan dari adik-adiknya. Janda almarhum diterima adikya dengan muka masam. Dia hanya diberi sedikit bahan makanan dan disuruh pulang ke dusun pengasingannya. Pengalaman yang menyedihkan itu diceritakan kepada kedua anaknya. Mendengar cerita itu mereka, Periedende dan Periedendu ikut berduka. Tempat pengasingan mereka berada di tengah hutan. Tak jauh dari tempat itu ada sungai bernama Lawe Alas. Dulu mereka sering mandi dan kadang-kadang mencari ikan di Lawe Alas. Namun, sejak harimau mulai mengganas, mereka mereka tak berani lagi turun kekali. Penggembala kerbau, lembu, kambing dan biri-biri pun tak berani lagi menggembalakan ternak mereka. Demikianlah binatang buas semakin hari semakin merajalela. Hewan ternak tambah lama tambah sedikit. Sawah dan ladang pun sudah banyak yang ditinggalkan orang. Karena dihantui rasa takut, rakyat mengurung diri dalam rumah. Persedian makanan yang ada semakin hari semakin tipis. Melihat dan merasakan ini semua rakyat mulai marah kepada Raja Tara. Terutama rakyat melihat Raja Tara tak mampu mengatasi kesulitan yang menimpa kerajaan. Sama dengan diseluruh kerajaan rakyat menderita, begitu pula nasib keluarga Periedende. Meminta pada keluarga raja tak memungkinkan lagi karena keluarga raja tak bersedia memberikan bantuan. Pada suatu hari, ibu periedende memutuskan untuk pergi ke tempat abangnya di Terutung Payaung. Ia disambut dengan baik. Semua pengalaman setelah ia ditinggal almarhum diceritakan kepad keluarga abangnya itu. Mendengar cerita ibu Periedende, semua yang mendengar merasa sedih. Ketika akan pulang sore harinya, ia dibekali bahan makanan secukupnya. Semua cerita mereka ini didengar oleh seekor harimau yang sedang kelaparan karena hariamau itu sudah lama tak memperoleh mangsa. Buru-buru harimau itu pergi kerumah ibu Periedende, ingin menerkam kedua anak yang tinggal di tempat itu. Dipintu rumah, harimau mengetuk. Lalu memanggil nama kedua anak itu. Karena mendengar suara itu agak asing kedua anak itu tak buru-buru membuka pintu. Kedua anak itu sedang memasak diatas tungku. Mereka hanya merebus air karena tak ada makanan lain yang dimasak. Sementara itu dari celah dinding anak itu sempat mengintip. Ternyata yang mengetuk adalah harimau. Air yang sudah mendidih diangkat kedua anak itu kedekat pintu. Lalu mereka mengatakan pintu sudah dibuka tapi tolong didorong dari luar. Begitu pintu terbuka, air mendidih ditumpahkan ke muka harimau. Karena kepanasan, harimau pun mati. Saat ibu Periedende dan abangnya tiba, mereka terkejut. Mereka melihat tubuh harimau tergelak di bawah rumah. “Pasti kedua anakku sudah dimakan harimau ini,” pikirnya dalam hati. Ia mencoba memanggil nama anak-anaknya. Mendengar suara sang ibu,kedua anak itu segera melompat kepintu. Mereka merasa gembira karena telah bertemu kembali dalam keadaan selamat. Kedua anak itu menceritakan apa yang terjadi selama ditinggalkan ibu mereka. Cerita keberanian Periedende tersiar keseluruh kerajaan. Mendengar itu, semua orang mendesak agar Raja Tara turun tahta dan digantikan oleh Periedende yang berani. Usul rakyat tak dapat dipenuhi Periedende karena ia masih kecil. Lagipula ia perempuan. “Tidak apa kerajaan diperintah Raja Tara. Asalkan kehidupan rakyat jangan diabaikan,” kata Periedende. Sejak itu, Raja Tara memerintah dengan baik. Harta benda kakak iparnya dikembalikan sehingga Periedende dan ibu serta adiknya hidup bahagia. Kehidupan di seluruh kerajaan pun mulai berangsur pulih kembali. Demikian kecerdikan kedua anak itu dalam membunuh harimau dianggap sebagai kemampuan yang luar biasa. Ini perlu kita teladani. 11. Kebo Iwa - Bali Pada jaman dahulu, di Bali, hiduplah sepasang suami istri yang sangat kaya raya. Akan tetapi mereka belum dikaruniani anak. Untuk itu, pergilah mereka ke pura untuk sembahyang dan memohon kepada Yang Maha Kuasa agar dikaruniani seorang anak. Mereka melakukan sembahyang setiap hari tanpa hentinya. Setelah sekian lama waktu berlalu, si istri mulai mengandung. Suami istri itu pun merasa bahagia dan tak lupa mengucap syukur kepada Yang Maha Kuasa. Akhirnya, setelah sembilan bulan lamanya mengandung, lahirlah seorang bayi laki-laki. Waktu pun berlalu. Sang istri mulai mengandung. Betapa bahagianya mereka. Beberapa bulan kemudian, lahirlah seorang bayi laki-laki. Ternyata yang lahir bukanlah bayi biasa. Ketika masih bayi pun ia sudah bisa makan makanan orang dewasa. Setiap hari anak itu makan makin banyak dan makin banyak. Anak itu tumbuh menjadi orang dewasa yang tinggi besar. Karena itu ia dipanggil dengan nama Kebo Iwa, yang artinya paman kerbau. Kebo Iwa makan dan makan terus dengan rakus. Lama-lama habislah harta orang tuanya untuk memenuhi selera makannya. Mereka pun tak lagi sanggup memberi makan anaknya. Dengan berat hati mereka meminta bantuan desa. Sejak itulah segala kebutuhan makan Kebo Iwa ditanggung desa. Penduduk desa kemudian membangun rumah yang sangat besar untuk Kebo Iwa. Mereka pun memasak makanan yang sangat banyak untuknya. Tapi lama-lama penduduk merasa tidak sanggup untuk menyediakan makanan. Kemudian mereka meminta Kebo Iwa untuk memasak sendiri. Mereka cuma menyediakan bahan mentahnya. Kebo Iwa memang serba besar. Jangkauan kakinya sangat lebar, sehingga ia dapat bepergian dengan cepat. Kalau ia ingin minum, Kebo Iwa tinggal menusukkan telunjuknya ke tanah. Sehingga terjadilah sumur kecil yang mengeluarkan air. Karena kehebatannya, Kebo Iwa dapat menahan serbuan pasukan Majapahit yang hendak menaklukkan Bali. Maha Patih Majapahit pun mengatur siasat. Ia mengundang Kebo Iwa ke Majapahit. Ia kemudian meminta Kebo Iwa membuatkan beberapa sumur, karena kerajaan itu kekuarangan air minum. Kebo Iwa menyanggupi tanpa curiga. Setibanya di Majapahit, ia menggali banyak sumur. Sungguh pekerjaan yang berat, karena ia harus menggali dalam sekali. Ketika Kebo Iwa sedang bekerja di dasar sumur, Sang Patih memerintahkan pasukannya menimbuni Kebo Iwa dengan kapur. Kebo Iwa sesak napasnya. Kemudian ia pun meninggal di dasar sumur. Dengan meninggalnya Kebo Iwa, Bali pun dapat ditaklukkan Majapahit. Berakhirlah riwayat orang besar yang berjasa pada Pulau Bali. ============================================ Ebook Cersil, Teenlit, Novel (www.zheraf.net) Gudang Ebook Ponsel http://www.ebookHP.com ============================================ 12. Brandal Lokajaya - Jawa Timur Sunan Kalijaga itu aslinya bernama Raden Said. Putra Adipati Tuban Tumenggung Wilatikta. Tumenggung Wilatikta seringkali disebut Raden Sahur, walau dia termasuk keturunan Ranggalawe yang beragama Hindu tapi Raden Sahur sendiri sudah masuk agama Islam. Sejak kecil Raden Said sudah diperkenalkan kepada agama Islam oleh guru agama Kadipaten Tuban. Tetapi karena melihat keadaan sekitar atau lingkungan yang kontradiksi dengan kehidupan rakyat jelata maka jiwa Raden Said berontak. Gelora jiwa muda Raden Said seakan meledak-ledak manakala melihat praktek oknum pejabat Kadipaten Tuban di saat menarik pajak pada penduduk atau rakyat jelata. Rakyat yang pada waktu itu sudah sangat menderita dikarenakan adanya musim kemarau panjang, semakain sengsara, karena mereka harus membayar pajak yang kadangkala tidak sesuai dengan ketentuan yang ada. Bahkan jauh dari kemampuan mereka. Seringkali jatah mereka untuk persediaan menghadapi musim panen berikutnya sudah disita para penarik pajak. Walau Raden Said putra seorang bangsawan dia lebih menyukai kehidupan yang bebas, yang tidak terikat oleh adat istiadat kebangsawanan. Dia gemar bergaul dengan rakyat jelata atau dengan segala lapisan masyarakat, dari yang paling bawah hingga yang paling atas. Justru karena pergaulannya yang supel itulah dia banyak mengetahui seluk-beluk kehidupan rakyat Tuban. Niat untuk mengurangi penderitaan rakyat sudah disampaikan kepada ayahnya. Tapi agaknya ayahnya tak bisa berbuat banyak. Dia cukup memahaminya pula posisi ayahnya sebagai adipati bawahan Majapahit. Tapi niat itu tak pernah padam. Jika malam-malam sebelumnya dia sering berada di dalam kamarnya sembari mengumandangkan ayat-ayat suci Al-Qur'an maka sekarang dia keluar rumah. Di saat penjaga gudang Kadipaten tertidur lelap, Raden Said mengambil sebagian hasil bumi yang ditarik dari rakyat untuk disetorkan ke Majapahit. Bahan makan itu dibagi-bagikan kepada rakyat yang sangat membutuhkannya. Hal ini dilakukan tanpa sepengetahuan mereka. Tentu saja rakyat yang tak tahu apa-apa itu menjadi kaget bercampur girang menerima rejeki yang tak diduga-duga. Walau mereka tak pernah tahu siapa gerangan yang memberikan rejaki itu sebabnya Raden Said melakukannya di malam hari secara sembunyi-sembunyi. Bukan hanya rakyat yang terkejut atas rezeki yang seakan turun dari langit itu. Penjaga gudang Kadipaten juga merasa kaget, hatinya kebat-kebit, soalnya makin hari barang-barang yang hendak disetorkan ke pusat kerajaan Majapahit itu makin berkurang. Ia ingin mengetahui siapakah pencuri barang hasil bumi di dalam gudang itu. Suatu malam ia sengaja mengintip dari kejauhan, dari balik sebuah rumah, tak jauh dari gudang Kadipaten. Dugaannya benar, ada seseorang membuka pintu gudang, hampir tak berkedip penjaga gudang itu memperhatikan, pencuri itu. Dia hampir tak percaya, pencuri itu adalah Raden Said, putra junjungannya sendiri. Untuk melaporkannya sendiri kepada Adipati Wilatikta ia tak berani. Khawatir dianggap membuat fitnah. Maka penjaga gudang itu hanya minta dua orang saksi dari sang Adipati untuk memergoki pencuri yang mengambil hasil bumi rakyat yang tersimpan di gudang. Raden Said tak pernah menyangka bahwa malam itu perbuatannya akan ketahuan. Ketika ia hendak keluar dari gudang sambil membawa bahan-bahan makanan tiga orang prajurit Kadipaten menangkapnya beserta barang bukti yang dibawanya. Raden Said dibawa kehadapan ayahnya. Adipati Wilatikta marah melihat perbuatan anaknya itu. Raden said tidak menjawab untuk apakah dia mencuri barang-barang hasil bumi yang hendak disetorkan ke Majapahit itu. Tapi untuk itu Raden Said harus mendapat hukuman, karena kejahatan mencuri itu baru pertama kali dilakukannya maka dia hanya mendapat hukuman cambuk dua ratus kali pada tangannya. Kemudian disekap selama beberapa hari, tak boleh keluar rumah. Jerakah Raden Said atas hukuman yang sudah diterimanya? Sesudah keluar dari hukuman dia benar-benar keluar dari lingkungan istana. Tak pernah pulang sehingga membuat cemas ibu dan adiknya. Apa yang harus dilakukan Raden Said selanjutnya? Dia mengenakan topeng khusus, berpakaian serba hitam dan kemudian merampok harta orang-orang kaya di Kabupaten Tuban. Terutama orang kaya yang pelit dan para pejabat Kadipaten yang curang. Harta hasil rampokan itupun diberikan kepada fakir miskin dan orang-orang yang menderita lainnya. Tapi ketika perbuatannya ini mencapai titik jenuh ada saja orang yang bermaksud mencelakakannya. Ada seorang pemimpin perampok sejati yang mengetahui aksi Raden Said menjarah harta pejabat kaya, kemudian pemimpin rampok itu mengenakan pakaian serupa dengan pakaian Raden Said, bahkan juga mengenakan topeng seperti topeng Raden Said juga. Pada suatu malam, Raden Said yang baru saja menyelesaikan shalat Isya’ mendengar jerit tangis para penduduk desa yang kampungnya sedang dijarah perampok. Dia segera mendatangi tempat kejadian itu. Begitu mengetahui kedatangan Raden Said kawanan perampok itu segera berhamburan melarikan diri. Tinggal pemimpin mereka yang sedang asyik memperkosa seorang gadis cantik. Raden Said mendobrak pintu rumah si gadis yang sedang diperkosa. Didalam sebuah kamar dia melihat seseorang berpakaian seperti dirinya, juga mengenakan topeng serupa sedang berusaha mengenakan pakaiannya kembali. Rupanya dia sudah selesai memperkosa gadis itu. Raden Said berusaha menangkap perampok itu. Namun pemimpin rampok itu berhasil melarikan diri. Mendadak terdengar suara kentongan bertalu-talu, penduduk dari kampung lain berdatangan ke tempat itu. Pada saat itulah si gadis yang baru diperkosa perampok tadi menghamburkan diri dan memegang erat-erat tangan Raden Said. Raden Said pun jadi panik dan kebingungan. Para pemuda dari kampung lain menerobos masuk dengan senjata terhunus. Raden Said ditangkap dan dibawa ke rumah kepala desa. Kepala desa yang merasa penasaran mencoba membuka topeng di wajah Raden Said. Begitu mengetahui siapa orang dibalik topeng itu sang kepala desa jadi terbungkam. Sama sekali tak disangkanya bahwa perampok itu adalah putra junjungannya sendiri yaitu Raden Said. Gegerlah masyarakat pada saat itu. Raden Said dianggap perampok dan pemerkosa. Si gadis yang diperkosa adalah bukti kuat dan saksi hidup atas kejadian itu. Sang kepala desa masih berusaha menutup aib junjungannya. Diam-diam ia membawa Raden Said ke istana Kadipaten Tuban tanpa diketahui orang banyak. Tentu saja sang Adipati menjadi murka. Raden Said yang selama ini selalu merasa sayang dan selalu membela anaknya kali ini juga naik pitam. Raden Said diusir dari wilayah Kadipaten Tuban. “Pergi dari Kadipaten Tuban ini! Kau telah mencoreng nama baik keluargamu sendiri! Pergi! Jangan kembali sebelum kau dapat menggetarkan dinding-dinding istana Kadipaten Tuban ini dengan ayat-ayat Al-Qur'an yang sering kau baca di malam hari!”. Sang Adipati Wilatikta juga sangat terpukul atas kejadian itu. Raden Said yang diharapkan dapat mengggantikan kedudukannya selaku Adipati Tuban ternyata telah menutup kemungkinan kearah itu. Sirna sudah segala harapan sang Adipati. Hanya ada satu orang yang tak dapat mempercayai perbuatan Raden Said, yaitu Dewi Rasawulan, adik Raden Said itu berjiwa bersih luhur dan sangat tidak mungkin melakukan perbuatan keji. Dewi Rasawulan yang sangat menyayangi kakaknya itu merasa kasihan, tanpa sepengetahuan ayah dan ibunya dia meninggalkan istana Kadipaten Tuban untuk mencari Raden Said untuk diajak pulang. Kemanakah Raden Said sesudah diusir dari Kadipaten Tuban? Ternyata ia mengembara tanpa tujuan pasti. Pada akhirnya dia menetap di hutan Jatiwangi. Selama bertahun-tahun dia menjadi perampok budiman. Mengapa disebut perampok budiman? Karena hasil rampokan itu tak pernah dimakannya. Seperti dulu, selalu diberikan kepada fakir miskin. Yang dirampoknya hanya para hartawan atau orang kaya yang kikir, tidak menyantuni rakyat jelata, dan tidak mau membayar zakat. Di hutan Jatiwangi dia membuang nama aslinya. Orang menyebutnya sebagai Brandal Lokajaya. Pada suatu hari, ada seorang berjubah putih lewat di hutan Jatiwangi. Dari jauh Brandal Lokajaya sudah mengincarnya. Orang itu membawa sebatang tongkat yang gagangnya berkilauan. Terus diawasinya orang tua berjubah putih itu. Setelah dekat dia hadang langkahnya. Tanpa banyak bicara lagi direbutnya tongkat itu dari tangan lelaki berjubah putih. Karena tongkat itu dicabut dengan paksa maka orang berjubah putih itu jatuh tersungkur. Dengan susah payah orang itu bangun, sepasang matanya mengeluarkan air walau tak ada suara tangis dari mulutnya. Raden Said pada saat itu sedang mengamat-amati gagang tongkat yang dipegangnya. Ternyata tongkat itu bukan terbuat dari emas hanya gagangnya saja terbuat dari kuningan sehingga berkilauan tertimpa cahaya matahari, seperti emas. Raden Said heran melihat orang itu menangis. Segera diulurkannya kembali tongkat itu, “Jangan menangis, ini tongkatmu kukembalikan”. “Bukan tongkat ini yang kutangisi”, ujar lelaki itu sembari memperlihatkan beberapa batang rumput ditelapak tangannya. “Lihatlah! Aku telah berbuat dosa, berbuat kesia-siaan. Rumput ini tercabut ketika aku jatuh tersungkur tadi”. “Hanya beberapa lembar rumput. Kau merasa berdosa?” tanya Raden Said heran. “Ya, memang berdosa! Karena kau mencabutnya tanpa suatu keperluan. Andaikata kucabut guna makanan ternak itu tidak mengapa. Tapi untuk suatu kesia-siaan benar-benar suatu dosa!” jawab lelaki itu. Hati Raden Said agak tergetar atas jawaban yang mengandung nilai iman itu. “Anak muda sesungguhnya apa yang kau cari di hutan ini?” “Saya menginginkan harta” “Untuk apa?” “Saya berikan kepada fakir miskin dan penduduk yang menderita”. “Hem, sungguh mulia hatimu, Sayang......caramu mendapatkan-nya yang keliru”. “Orang tua......apa maksudmu?”. “Boleh aku bertanya anak muda”, desah orang tua itu, “Jika kau mencuci pakaianmu yang kotor dengan air kencing, apakah tindakanmu itu benar?”. “Sungguh perbuatan bodoh,” sahut Raden Said. “Hanya menambah kotor dan bau pakaian itu saja”. Lelaki itu tersenyum, “Demikian pula amal yang kau lakukan. Kau bersedekah dengan barang yang di dapat secara haram, merampok atau mencuri, itu sama halnya mencuci pakaian dengan air kencing”. Raden Said tercekat. Lelaki itu melanjutkan ucapannya, “Allah itu adalah Zat yang baik, hanya menerima amal dari barang yang baik atau halal”. Raden Said makin tercengang mendengar keterangan itu. Rasa malu mulai menghujam lubuh hatinya. Betapa keliru perbuatannya selama ini. Dipandangnya sekali lagi wajah lelaki berjubah putih itu. Agung dan terasa berwibawa, namun mencerminkan pribadi yang welas asih. Dia mulai suka dan tertarik pada lelaki berjubah putih itu. “Banyak hal yang terkait dalam usaha mengentas kemiskinan dan penderitaan rakyat pada saat ini. Kau tidak bisa merubahnya hanya dengan memberi bantuan makan dan uang kepada para penduduk miskin. Kau harus memperingatkan para penguasa yang zalim agar mau merubah caranya memerintah yang sewenang-wenang, kau juga harus dapat membimbing rakyat agar dapat meningkatkan taraf kehidupannya!”. Raden Said semakin terpana, ucapan seperti itulah yang didambakannya selama ini. “Kalau kau tak mau kerja keras, dan hanya ingin beramal dengan cara yang mudah maka ambillah itu. Itu barang halal. Ambillah sesukamu!”. Berkata demikian lelaki itu menunjuk pada sebatang pohon aren. Seketika pohon itu berubah menjadi emas seluruhnya. Sepasang mata Raden Said terbelalak. Dia adalah seorang pemuda sakti, banyak ragam pengalaman yang telah dikecapnya. Berbagai ilmu yang aneh-aneh telah dipelajarinya. Dia mengira orang itu mempergunakan ilmu sihir, kalau benar orang itu mengeluarkan ilmu sihir ia pasti dapat mengatasinya. Tapi, setelah ia mengerahkan ilmunya, pohon aren itu tetap berubah menjadi emas. Berarti orang itu tidak mempergunakan sihir. Ia benar-benar merasa heran dan penasaran, ilmu apakah yang telah dipergunakan orang itu sehingga mampu merubah pohon aren berubah menjadi emas? Selama beberapa saat Raden Said terpukau ditempatnya berdiri. Dia mencoba memanjat pohon aren itu. Benar-benar berubah menjadi emas seluruhnya. Ia ingin mengambil buah aren yang telah berubah menjadi emas berkilauan itu. Mendadak buah aren itu rontok, berjatuhan mengenai kepala Raden Said. Pemuda itu terjerembab ketanah. Roboh dan pingsan. Ketika ia sadar, buah aren yang rontok itu telah berubah lagi menjadi hijau seperti aren-aren yang lainnya. Raden Said bangkit berdiri, mencari orang berjubah putih tadi. Tapi yang dicarinya sudah tak ada di tempat. Ucapan orang tua itu masih terngiang ditelinganya. Tentang beramal dengan barang haram yang disamakan dengan mencuci pakaian dengan air kencing. Tentang berbagai hal yang terkait dengan upaya memberantas kemiskinan. Raden Said mengejar orang itu. Segenap kemampuan dikerahkannya untuk berlari cepat akhirnya dia dapat melihat bayangan orang itu dari kejauhan. Sepertinya santai saja orang itu melangkahkan kakinya, tapi Raden Said tak pernah bisa menyusulnya. Jatuh bangun, terseok-seok dan berlari lagi, demikianlah, setelah tenaganya terkuras habis dia baru sampai dibelakang lelaki berjubah putih itu. Lelaki berjubah putih itu berhenti, bukan karena kehadiran Raden Said melainkan di depannya terbentang sungai yang cukup lebar. Tak ada jembatan, dan sungai itu tampaknya dalam, dengan apa dia harus menyeberang. “Tunggu........” ucap Raden Said ketika melihat orang tua itu hendak melangkahkan kakinya lagi. “Sudilah Tuan menerima saya sebagai murid......?” pintanya “Menjadi muridku?” tanya orang itu sembari menoleh. “Mau belajar apa?” “Apa saja, asal Tuan menerima saya sebagai murid...” “Berat, berat sekali anak muda, bersediakah kau menerima syarat-t-syaratnya?” “Saya bersedia....” Lelaki itu kemudian menancapkan tongkatnya di tepi sungai. Raden Said diperintahkan menungguinya. Tak boleh beranjak dari tempat itu sebelum lelaki itu kembali menemuinya. Raden Said bersedia menerima syarat ujian itu. Selanjutnya lelaki itu menyeberangi sungai. Sepasang mata Raden Said terbelalak heran, lelaki itu berjalan di atas air bagaikan berjalan di daratan saja. Kakinya tidak basah terkena air. Ia semakin yakin bahwa calon gurunya itu adalah seorang lelaki berilmu tinggi, waskita dan mungkin saja golongan para wali. Setelah lelaki itu hilang dari pandangan Raden Said, pemuda itu duduk bersila dia teringat suatu kisah ajaib yang dibacanya di dalam Al-Qur'an yaitu kisah Ashabul Kahfi, maka ia segera berdo'a kepada Tuhan supaya ditidurkan seperti para pemuda di goa Kahfi ratusan tahun silam. Do'anya dikabulkan. Raden Said tertidur dalam samadinya selama tiga tahun. Akar dan rerumputan telah merambati sekujur tubuhnya dan hampir menutupi sebagian besar anggota tubuhnya. Setelah tiga tahun lelaki berjubah putih itu datang menemui Raden Said. Tapi Raden Said tak bisa dibangunkan. Barulah setelah mengumandangkan adzan, pemuda itu membuka sepasang matanya. Tubuh Raden Said dibersihkan, diberi pakaian baru yang bersih. Kemudian dibawa ke Tuban. Mengapa ke Tuban? Karena lelaki berjubah putih itu adalah Sunan Bonang. Raden Said kemudian diberi pelajaran agama sesuai dengan tingkatannya, yaitu tingkat para waliyullah. Di kemudian hari Raden Said terkenal sebagai Sunan Kalijaga 13. Kecil Tapi Perkasa Di pinggir kota Payakumbuh, di ujung desa goto nan Ampek, ada sebuah goa besar. Kalau orang berada di dalamnya serasa dalam istana raja zaman dahulu kala. Di bagian tengah lantai terhampar sesusun batu yang permukaannya rata, seperti meja bersegi empat tempat para bangsawan duduk berunding dikelilingnya. Pada dinding, hampir dekat tutup gua, terlihat beberapa lubang yang besarnya seukuran tubuh, seolah itu adalah tempat persembunyian pengawal bila musuh menyerbu. Pada bagian ujung dekat mulut gua ada sebuah lubang besar yang tembus diantara dua bukit batu kapur. Lubang itu seolah merupakan tempat meninjau keadaan sekitarnya. Gua itu terletak di puncak bukit kapur. Dekat di pintu masuk terdapat sebuah batu seperti topi baja tengkurap. Bila dipukul dengan batu sebesar tinju, kedengaran suaranya. “Gung......gung....guuuuung” bunyinya. Seolah bunyi gong yang dipukul untuk memberi tahu ada musuh yang datang. Orang menamakannya Batu Beragung, yang artinya batu bergong. Gua itu dinamakaan Ngalau si Bincik. Si Bincik adalah seorang laki-laki bertubuh kecil. Meski tubuhnya kecil, dia termasuk orang yang waktu mudanya jadi berandalan. Bila ada keramaian, dia selalu hadir. Kegemarannya berjudi. Dalam berjudi dia sangat pintar. Dia mulai bertaruh dengan uang yang sedikit. Kalau dia menang, semua dipasang sebagai taruhan. Kalau menang lagi semuanya dipasang lagi. Bila kalah dimulai lagi dengan uang yang sedikit. Begitulah seterusnya yang dia lakukan. Si Bincik baru berhenti kalau bandar judi tidak memperbolehkan dia ikut lagi. Lalu uang kemenangan itu dibaginya kepada teman-teman sesama berandalan. Akan tetapi, kalau dia kalah dan uangnya habis, si Bincik akan mencuri agar dapat modal untuk berjudi lagi. Dan bila kepergok, ia akan di hajar hingga babak belur. Namun, di kampung si Bincik sendiri tidak pernah terjadi kerusuhan. Keadaan itu berakibat buruk bagi penduduk kampung. Semua penduduk kampung yang kena rampok akan memusuhi penduduk kampung si Bincik sehingga hubungan dagang pun terhenti. Orang kampung si Bincik, tidak dapat lagi membeli dan menjual dikampung yang lain. Lama-lama hal itu sangat merugikan kampung si Bincik. Maka beramai-ramai orang kampungnya meminta agar anak buahnya jangan lagi merampok orang kampung lain. Si Bincik memanggil semua teman berandalannya, “Jangan merampok lagi,” kata si Bincik. Kata-kata si Bincik disambut dengan gelak tertawa oleh teman-temannya. “Aku bilang, jangan merampok lagi,” kata si Bincik denngan keras mengatasi tertawa tema-temannya. Tertawa teman-temannya menjadi terbahak-bahak. Sekali lagi si Bincik melarang dengan membentak keras. Semua berandalan itu kini terdiam. Namun, salah seorang yang bertubuh besar dan berewok tiba-tiba mengangkat si Bincik tinggi-tinggi dengan kedua belah tangannya yang besar dan berotot. Mengayun-ayunkannya ke kiri ke kanan dan memutar-mutarnya sambil tertawa terkakak-kakak. Si Brewok itu sudah lama iri hati pada si Bincik yang orang kecil itu. Kemudian si Bincik dilemparnya ke yang lain. Yang lain melemparkannya pula ke yang lain lagi. Begitu seterusnya sampai tiba giliran si Brewok lagi. Namun, dia ini tidak melemparkan si Bincik ke temannya seperti semula. Si Bincik dia lempar ke jurang. Si Bincik tidak tahu sudah berapa lama dia dalam jurang itu. Ketika dia sadar, keadaan dikelilingnya sudah gelap. Ketika hendak bangun, seluruh tubuhnya dirasa sakit dan perih. Dia tidak berdaya. Kaki kiri dan tiga tulang iganya patah. “Hai, siapa pun yang ada disini, tolong beri aku kekuatan,” seru si Bincik. Tidak ada jawaban. Suasana kian sepi. Sekali lagi dia berseru, “Hai, siapa pun yang ada disini. Kalau kau memang ada, beri aku kekuatan. Aku berjanji, apa pun yang kau kehendaki, akan aku penuhi.” Dedaunan disekitarnya terdengar berdesir. Sebuah bayangan tipis seperti manusia muncul. Bayangan itu berkata, “Aku beri engkau kekuatan, kekebalan, dan keberuntungan. Tapi janji apa yang akan kau berikan kepadaku?” “Apa saja yang kau mau," seru si Bincik pula. “Putriku tertimbun oleh reruntuhan batu di puncak bukit. Kalau engkau dapat menemuinya hidup, aku penuhi janjiku. Kekuatan, kekebalan, dan keberuntungan. Kalau kau temui putriku sudah mati, aku ambil nyawamu sebagai pengganti nyawa putriku," kata bayangan tipis itu. Si Bincik ingat tubuhnya yang kecil, yang tak akan kuat membokar runtuhan batu di puncak bukit itu. Lalu katanya, ”Kalau aku tidak mau?” “Engkau akan mati disergap harimau yang banyak di sini," jawab bayangan itu. Otak si Bincik menimbang-nimbang, kalau aku tidak mau, aku akan mati disergap harimau. Kalau aku mau, tapi tidak berhasil usahaku, ku akan mati juga. Namun, akan ada seseorang yang akan hidup lagi. Lalu ia berkata, “Keberuntungan apa yang akan aku dapati kalau aku berhasil?” “Putriku akan jadi istrimu,“ jawab bayangan itu. “Baiklah,” kata si Bincik pula. Bayangan itu pun lenyap,. Rasa sakit seluruh tubuh si Bincik pun lenyap. Tak terhitung siang dan malam si Bincik membongkar reruntuhan batu itu. Sampai akhirnya dia menemukan putri itu. Masih hidup dan alangkah cantiknya dia. Tanpa disangkanya, bekas timbunan yang dibongkarnya menjadi sebuah gua yang besar. Maka dijadikanlah gua itu sebagai kediamannya. Sekali waktu, si Bincik merindukan ke dua orang tuanya. Maka pulanglah dia ke kampungnya. Namun, kampung itu telah sepi. Tak seorang pun juga yang di temuinya. Dicarinya keterangan dari penduduk di kampung-kampung di sekitarnya. Didapatlah keterangan bahwa kampungnya telah ditinggalkan penduduk karena dihancurkan oleh penduduk kampung yang lain. Kampung itu diserang karena di kampung itu si Koduk yang berewok telah menjadi raja. Bersama teman-temannya yang berandalan tak henti-hentinya merampok kampung-kampung lain. Bertekadlah si Bincik mencari ibu bapaknya dan si Koduk sampai dapat. Siang dan malam ia mencari. Yang pertama ditemukannya ialah pusara ibu bapaknya pada suatu desa kecil. Hatinya sangat sedih dan juga marah pada si Koduk yang telah menyebabkan kematian kedua orang tuanya. Didatanginya kampung-kampung yang dirampok si Koduk. Sampai hampir setahun dia mencari, si Koduk tak kunjung di temukan. Lalu dia ingat akan istrinya yang sudah begitu lama ditinggalkannya. Ketika si Bincik sampai di gua itu, di pintu gua dia dihadang oleh berandalan si Koduk. Berkat kekuatan dan kekebalannya, mereka semua dapat dikalahkan si Bincik dalam waktu yang singkat. Ketika si Koduk tahu bahwa anak buahnya yang sebanyak itu dapat dikalahkan, demi melihat si Bincik datang, larilah dia keujung gua. Dari sana dia mau melompat kebawah. Namun, karena rasa takut yang luar biasa, kakinya tergelicir. Dia jatuh jauh ke bawah bukit. Dia pun mati. Semua berandalan anak buah si Koduk, yang dulu adalah temannya juga, di nasehatinya setelah mereka sadar dari pingsan. Katanya, “Kalian memang pemberani. Tapi berani kalian merampok rakyat yang lemah. Cobalah keberanian itu kalian gunakan utuk melindungi rakyat dari kejahatan.” Entah karena hormat atau takut pada si Bincik, semua mereka berjanji akan mengikuti si Bincik. Sejak itu, amanlah kampung sekitarnya dari kejahatan. Berandalan lainpun tidak berani. Merasa ngeri sendiri mendengar berita kekuatan dan kekebalan si Bincik. Lama kemudian, pecahlah perang Paderi melawan belanda yang mau menguasai seluruh Minangkabau. Belanda dengan cerdik menggunakan gerombolan perampok meneror penduduk kampung yang tidak mau tunduk. Ada kalanya pula membawa gerombolan itu ikut menyerbu kampung yang kuat perlawanannya. Kampungnya sendiri diduduki tentara Belanda. Si Bincik dan teman-temannya tidak tahan mendengar berita kejahatan tentara Belanda yang telah sampai ke kampung halamannya. Mereka langsung bergabung dengan Paderi. Namun, karena anggotanya sedikit, cara perangnya bergerilya. Akhirnya, si Bincik menjadi musuh Belanda nomor satu di daerah itu. Dia dicari dan diburu. Belanda memasang mata-mata di mana-mana untuk mengetahui si Bincik berada. Sampai pada suatu saat gua persembunyian si Bincik dikepung dan diserbu. Namun, si Bincik tidak ada. Sampai lama setelah perang berakhir, tidak seorangpun yang tahu, dimana si Bincik berada. Entah tertangkap atau terbunuh atau dapat lari keseberang laut. Yang diketahui orang ialah sebuah gua di pinggir kota Payukumbuh yang bernama Ngalau si Bincik. 14. Gadis Jelmaan Burung Adalah putra mahkota bernama Raja Muda. Ia sudah lama ingin berumah tangga, tetapi belum menemukan gadis yang cocok untuk dijadikan istrinya. Setelah lama mencari-mencari jodoh, pada suatu malam bermimpi melihat seorang tua datang kepadanya. Orang tua itu mengatakan kepada Raja Muda, kalau dia ingin mendapat jodoh dia harus pergi ke halaman sebuah rumah yang terletak di dekat pantai. Di halaman rumah itu terdapat pohon kelapa gading. Kalau burung kuau turun dari kahyangan mereka akan hinggap di pohon kelapa gading itu. Selanjutnya, orang tua tersebut menganjurkan agar Raja Muda menangkap burung kuau yang turun dari kahyangan itu. Setelah mendapat mimpi, pergilah Raja Muda ketempat rumah yang disebutkan orang tua dalam mimpinya itu. Di halaman rumah, tumbuh beberapa kelapa gading. Untuk menyembunyikan dirinya, Raja Muda menimbun dirinya dengan pasir di halaman rumah, dan mukanya ia tutupi dengan tempurung. Sangkar untuk burung kuau yang akan ditangkapnya disembunyikan Raja Muda di satu tempat. Tak lama setelah Raja Muda menyembunyikan dirinya di bawah timbunan pasir, turunlah beberapa ekor burung kuau dari kayangan dan hinggap di pohon kelapa gading tersebut. Burung-burung kuau itu kakak beradik. Yang bungsu turun kebawah dan bermain-main di atas pasir. Melihat hal itu, burung kuau yang tertua bernyanyi dengan kata-kata ibarat untuk menasehati adiknya yang bungsu itu agar berhati-hati. Tetapi burung kuau yang bungsu itu tak mempedulikan nasehat kakaknya itu. Dia terus juga bermain-main dengan gembira di atas pasir tanpa memperhatikan keadaan di sekitarnya. Raja Muda yang bersembunyi diatas tumpukan pasir yang menutupi badannya sangat terkesan mendengar nyanyian burung kuau yang sangat merdu itu. Ketika burung kuau yang bungsu itu sampai ke dekatnya, tiba-tiba Raja Muda menangkapnya dan memasukkannya kedalam sangkar. Melihat kejadian itu, burung-burung kuau yang berada di atas pohon kelapa gading segera terbang kembali ke kahyangan. Dengan perasaan yang sangat gembira, Raja Muda membawa burung kuau itu ke istana dan diletakkannya disebelah kamar peraduannya. Pada suatu malam menjelang dini hari, menjelmalah burung kuau itu menjadi seorang putri yang cantik jelita. Ia keluar dari sangkarnya dan pergi ke dapur istana memasak makanan yang lezat-lezat. Kemudian, kembali masuk kedalam sangkar dan mengubah dirinya menjadi burung kuau. Ketika bersantap pagi, Raja Muda merasa heran karena makanannya yang terhidang luar biasa lezatnya. Oleh karena itu, dia tanyakan kepada juru masak istana siapa yang memasak makanan itu. Juru masak istana mengatakan bahwa bukan dia yang memasak makanan itu. Malahan, dia juga merasa heran sekali, sebab ketika dia bangun makanan itu sudah terhidang di atas meja. Setelah kejadian serupa berulang beberapa kali, Raja Muda berusaha untuk mengetahui bagaimana hal itu bisa terjadi. Suatu malam, Raja Muda sengaja tidak tidur untuk mengintip siapa yang selalu menyediakan makanan yang sangat lezat itu dimeja makan. Menjelang dini hari, Raja Muda mendengar suara-suara yang aneh di ruangan tempat meletakkan sangkar burung kuau. Lantas dia pun mengintip ke tempat itu. Raja Muda jadi sangat terkejut karena tampak olehnya burung kuau itu menjelma menjadi seorang putri yang cantik jelita. Kemudian putri yang sangat cantik itu pergi ke dapur istana. Buru-buru Raja Muda mengambil sangkar burung kuau itu dan dia bawa kekamarnya. Ketika putri yang cantik itu selesai menghidangkan makanan dan hendak masuk kembali ke sangkar burung kuau itu, ternyata sangkar itu sudah hilang. Oleh karena itu, dia tak bisa masuk lagi kedalam sangkar dan menjelmakan dirinya kembali menjadi burung kuau. Lantas, bersembunyilah putri yang cantik itu disatu tempat. Pagi harinya, Raja Muda pura-pura mengatakan kepada pesuruh istana bahwa burung kuaunya hilang. Kemudian, diperintahkanlah pesuruh istana itu mencarinya sampai dapat. Ketika sibuk mencari burung kuau yang hilang itu, pesuruh istana melihat seorang gadis cantik bersembunyi di satu tempat. Pesuruh istana menanyakan siapa dia. Karena tak bisa mengelak lagi, gadis cantik itu mengatakan bahwa dia adalah penjelmaan burung kuau. Kemudian, pesuruh istana membawa putri yang cantik itu menghadap Raja Muda. Beberapa waktu kemudian, diselenggarakan perkawinan Raja Muda dengan putri cantik penjelmaan dari burung kuau itu. Raja Muda merasa berbahagia sekali mendapat jodoh seorang gadis yang sangat cantik dan berbudi luhur. Setelah setahun mereka hidup berumah tangga denangan bahagia, lahirlah anak mereka yang pertama, seorang putra yang sangat tampan. Sementara itu, kedua orang tua putri burung kuau yang tinggal di kahyangan selalu dirundung perasaan duka cita. Sudah lebih setahun lamanya mereka menunggu, namun putri mereka yang bungsung tak juga kembali dari dunia ke kayangan. Ingin rasanya mereka mencari putri mereka yang bungsu itu kedunia. Tapi mereka tak melakukannya karena takut ditangkap dan dibinasakan manusia. Mereka tak lagi mengizinkan putri-putri mereka turun bermain-main kedunia agar tidak mengalami nasib yang sama seperti putri mereka yang bungsu itu. Pada suatu hari, Raja Muda bersama istrinya putri burung kuau bersenang-senang di taman bunga istana. Di sekitar mereka terdapat bunga-bunga yang indah sedang berkembang sehingga membuat udara berbau harum. Raja Muda berbaring sambil meletakkan kepalanya dipangkuan istrinya. Dengan perlahan-lahan, putri burung kuau membelai-belai kepala suaminya. Raja Muda merasa senang sekali saat itu. Tiba-tiba dia teringat betapa merdunya nyanyian burung kuaunya dahulu didengarnya, ketika dia bersembunyi di bawah timbunan pasir sambil menunggu kesempatan baik untuk menangkap burung kuau yang kini sudah menjadi istrinya. Karena teringat pada nyanyian burung kuau yang sangat merdu itu, Raja Muda meminta istrinya agar menyanyi untuknya. Tetapi istrinya menolak dan menasehati Raja Muda agar tidak memintanya menyanyi. Kalau dia bernyanyi hatinya akan merasa sedih sekali dan juga akan menimbulkan penyesalan bagi Raja Muda. Raja Muda tidak mau menerima nasehat istrinya itu, dan terus saja membujuk istrinya agar mau menyanyi untuknya. Istri Raja Muda tetap menolak dan memberi nasehat yang sama kepada Raja Muda. Justru karena itu Raja Muda tetap penasaran ingin tahu mengapa istrinya mengatakan kalau dia menyanyi akan menimbulkan penyesalan bagi Raja Muda. Akhirnya, karena Raja Muda membujuk dan mendesak terus, dengan perasaan terpaksa istrinya menyanyikan lagu burung kuau dengan suara merdu sekali. Karena merdunya lagu burung kuau itu, baru dua bait pantunnya dinyanyika oleh putri burung kuau tertidurlah Raja Muda dengan kepala terkulai dipangkuan istrinya. Ketika istrinya berhenti bernyanyi, tiba-tiba Raja Muda tersentak dari tidurnya dan menyuruh istrinya agar bernyanyi terus. Maka diteruskan istrinya bernyanyi. Raja Muda tertidur kembali dibuaian nyanyian istrinya itu. Tambah lama istri Raja Muda bernyanyi tambah tinggi suaranya, tubuhnya gemetar dan air matanya bercucuran. Kemudian perlahan-lahan istri Raja Muda yang sedang bernyanyi itu menjelma menjadi burung kuau. Sambil menggepak-gepakkan sayapnya terbanglah dia perlahan-lahan meninggalkan suaminya. Tiba-tiba Raja Muda terbangun dan dia lihat istrinya tak ada lagi di sampingnya. Yang tampak olehnya ialah burung kuau yang sedang terbang membubung ke kahyangan. Raja Muda menjadi sadar bahwa istrinya sudah menjelma kembali menjadi burung kuau dan terbang meninggalkan dia. Oleh karena itu, Raja Muda menyesal sekali telah menyuruh istrinya menyanyikan lagu burung kuau baginya. Akan tetapi, penyesalan tak berguna lagi karena istrinya sudah terbang membubung kekayangan. 15. Kera Yang Culas Pagi itu udara amat dingin. Seekor kera yang bertengger di dahan pohon segera turun ke tanah. Ia ingin mencari sesuatu untuk menghangatkan tubuhnya. “Aku akan mencari temanku si Katak. Barangkali ia mempunyai sesuatu untuk menghangatkan tubuh.” gumam si Kera. Setelah berjalan beberapa saat ia bertemu dengan temannya yaitu katak. Si Katak nampaknya juga merasa kedinginan dan kelaparan. “Halo selamat pagi katak....” sapa Kera. “Selamat pagi Kera temanku....” Kedua sahabat itu berbincang-bincang dengan asyiknya. Dan akhirnya keduanya mempunyai rencana untuk menanam pohon pisang. Setelah bersepakat, mereka pergi ke sungai untuk mencari batang pisang. Ketika dilihatnya ada sebatang pohon pisang yang hanyut di sungai kera berkata, “Ah, kau saja yang berenang, Katak. Nanti kulitku gatal-gatal”. Tanpa banyak bicara Katak dengan cepat berenang di sungai yang sedang banjir itu. Ia membawa batang pohon pisang itu ke tepi sungai dengan susah payah. Si Kera hanya enak-enak saja melihat Katak yang menepikan batang pohon pisang. Setelah batang pisang dibawa ke darat, mereka pun memotongnya menjadi dua bagian. Kera mengambil bagian ujung dan katak diberi bagian pangkal pohon. Katak menurut saja atas pembagian ini. Pikir Kera, bagian ujung tentunya akan lebih cepat berbuah. Merekapun kemudian menanam pohon pisang masing-masing. Katak menanam pohon itu di dekat rumahnya. Dia menggali lubang, lalu lubang itu diberi pupuk kandang sebagai tempat pohon pisang itu ditanam. Sementara itu. kera menggantungkan ujung batang pisang itu di atas pohon saman. “Kalau pohon pisang ini berbuah, hanya aku sendiri yang bisa memetiknya”, katanya dalam hati. Beberapa hari kemudian, batang pisang Katak mulai tumbuh daunnya. Pada suatu pagi Kera mendatangi Katak. “Hai, Katak. sudah tumbuhkah pohon pisangmu?” “Ya, baru berdaun satu”, jawab Katak. “Punyaku pun begitu”, kata Kera meskipun sebenarnya pohon pisangnya sudah layu di puncak pohon saman. Beberapa hari kemudian Kera bertanya lagi. “Bagaimana pohon pisangmu Katak?” “Baru berdaun dua”, jawab Katak. “Ah, punyaku juga begitu”, kata Kera, lagi-lagi ia berbohong kepada teman baiknya itu. Kera terus memantau keadaan tanaman pisang Katak. “Bagaimana pisangmu, Katak?” “Baru keluar bunganya”, jawab Katak. “Ah, punyaku juga begitu”, kata Kera berdusta. Sebenarnya, batang pisangnya sudah kering. Suatu pagi dia datang lagi, lalu bertanya. “Bagaimana pohon pisangmu Katak?” “Pohon pisangku sudah berbuah”, jawab Katak. “Punyaku juga begitu”, dusta Kera lagi. Beberapa hari kemudian buah pisang Katak sudah masak. Bertandan lebat dan besar buah pisangnya. Ia ingin sekali merasakan buah pisangnya. Namun ketika ia memanjat pohon pisang yang licin dan besar itu, selalu saja ia merosot jatuh. Dia mencoba berulang kali, tetapi tidak juga berhasil. Dan tiba-tiba datanglah Kera. “Hai, Katak. Rupanya pisangmu sudak masak, punyaku juga begitu, tetapi aku belum mau memetiknya. Aku masih menunggu tamu Agungku, si raja Paung, untuk merasakannya,” ujar Kera berdusta. Karena tak juga dapat memanjat pohon pisangnya, terpaksa Katak meminta tolong pada Kera. “Hai, Kera. Aku minta tolong padamu untuk memetik buah pisangku itu. Nanti kita bagi dua”. “Hm....baiklah. aku setuju!” sahut Kera dengan senang mendapat tawaran itu. Dalam sekejap saja Kera sudah berada di atas pohon pisang itu. Dia duduk dengan santai. Matanya berkedip-kedip dan mulutnya tersenyum. Kemudian, mulailah dia memilih-milih buah yang paling besar. Nyam... nyam... nyam , dimakannya pisang-pisang itu. “Hai, Kera. Berilah aku sebuah,” pinta Katak. “Ah, sebentar. Aku masih mencoba rasanya”, jawab Kera sambil memetik pisang yang lain, dan nyam...nyam...nyam...! “Hai, Kera. Berikan bagianku”, pinta Katak lagi. “Ah, ........... tunggulah sebentar. Aku masih mencobanya!” jawab Kera. Demikianlah perbuatan Kera, dia terus memakan buah pisang itu dengan lahap. Jika Katak memintanya, selalu dijawab dengan ucapan masih mencoba rasanya. Lama-kelamaan, jengkel juga hati Katak. Dia merasa ditipu temannya sendiri. Karena marah, katak bersembunyi di bawah tempurung kelapa. Ketika Kera melihat kebawah, Katak sudah tak berada di tempat itu. “Ah, kemana katak temanku tadi, jangan-jangan dia marah dan pergi” pikirnya. “Hai, Katak. Dimana kau?” teriaknya sambil turun dari pohon pisang. Namun sunyi tidak ada jawaban. “Hai, Katak. Dimana kau?” teriaknya lagi. Katak diam saja tak menjawab. Dia mencari Katak ke sana ke mari sambil berteriak-teriak. “Hai, Katak. Ini pisangmu?!” Kera terus mencari Katak sampai di semak-semak, tetapi tak dijumpainya. Dicarinya di pinggir sungai, mungkin Katak sedang mandi. Di sanapun tak ada. Setelah lelah mencari Katak, duduklah Kera di atas tempurung kelapa. Lalu dia memanggil lagi. “Hai, saudaraku. Katak yang baik hati, ini pisangmu?” “Kuk!” jawab Katak dari bawah tempurung. Kera sangat terkejut karena jawaban itu datangnya dari arah bawah. “Hai, Katak yang baik. Ini pisangmu?” ia memanggil lagi. “Kuk!” jawab Katak lagi. Kera menoleh ke bawah lagi. Dia penasaran dan curiga pada alat kelaminnya. Dia mengira alat kelaminnya itu yang menjawab. “Hai, Katak. Di mana kamu?” teriak Kera lagi. “Kuk!” sahut Katak yang berada persis di bawah tempat duduk Kera. Kera menjadi geram. Ia menyangka alat kelaminnya memperolok dirinya. Dia berdiri dan mencari batu besar, lalu duduk kembali di atas tempurung kelapa itu. “Awas! Sekali lagi kau menjawab akan kuhantam dengan batu besar ini!” ancam Kera pada alat kelaminnya. “Hai, Katak. Di mana engkau, ini pisangmu mana sarungku?!”. ”Kuk!” jawab Katak lagi. “Prak!” Kera menghantam alat kelaminnya sendiri dengan batu yang ada ditangannya. Maka seketika ia jatuh pingsan. Katak kemudian keluar dari bawah tempurung kelapa. Dia sedih dan kasihan melihat temannya luka parah dan jatuh pingsan akibat ulahnya sendiri. Sebenarnya ia tak menginginkan hal itu sampai terjadi. Demikianlah cerita Kera dan Katak. Persahabatan yang dilandasi tipu daya dengan maksud memperoleh sesuatu tanpa usaha, akan berakibat fatal. Persahabatan harus dilandasi dengan hati jujur dan saling percaya, itu akan terbina kehidupan yang rukun dan damai. 16. Ikan Ajaib - Timur Tengah Pada zaman dahulu, di sebuah negeri yang terletak di Timur Tengah (Arabia) ada seorang raja yang suka bersantap dengan makanan yang lezat dan nikmat. Suatu ketika Raja ingin bersantap dengan hidangan ikan yang lezat. Para pelayan dikerahkan untuk mengumpulkan ikan sebanyak-banyaknya. Ikan itu dikumpulkan di dapur istana. Seorang pelayan melihat ada ikan kecil yang manis sekali diantara kumpulan ikan di dapur, ikan kecil itu ternyata masih hidup. Si pelayan merasa kasihan. Dia berpikir, jumlah ikan sangatlah banyak, tentu Raja tidak akan merasa kehilangan jika ia mengambil ikan kecil itu. Lalu dimasukkannya ikan itu ke dalam jambangan. Beberapa hari kemudian Permaisuri melihat ikan itu. Ia sangat tertarik. Dibawanya ikan itu ke istana dijadikan binatang hias kesayangannya. Sungguh ajaib, hanya dalam tempo seminggu ikan itu sudah menjadi besar. Jambangan tak cukup lagi memuat tubuhnya. Terpaksa Permaisuri memasukkannya ke dalam akuarium. Namun beberapa hari kemudian ikan itu sudah membesar lagi. Tubuhnya lebih panjang dari akuarium, terpaksa ia dipindah ke dalam kolam istana. Ikan itu nampak senang dan badannya terus saja bertambah besar. Karena tubuhnya yang terus membesar maka ikan itu tidak lagi nampak manis, melainkan nampak menyeramkan. Ketika proses pembesaran sudah selesai dia selalu nampak merenung di sudut kolam. Tak mau berenang lagi. “Apa yang kau pikirkan?” tanya Permaisuri saat melihat ikannya nampak sedih. Ikan itu mengangkat hidungnya dan menjawab. “Aku bosan sendirian di dalam kola mini. Tak ada yang bisa kukerjakan. Aku ingin kawin, tapi aku tak mau kawin dengan ikan, aku ingin kawin dengan seorang gadis muda.” Permaisuri sangat kaget mengetahui ikan itu ternyata dapat berbicara, lebih kaget lagi manakala mengetahui permintaan ikan yang dianggap sangat mustahil itu. Ikan ingin kawin dengan manusia? Meski permintaan itu sangat tidak masuk akal, tapi Permaisuri tetap berusaha memenuhinya. Ia menyuruh pengawal untuk menyebarkan pengumuman kepada seluruh rakyatnya bahwa siapa saja gadis yang mau kawin dengan ikan kesayangannya maka akan dihadiahi harta berlimpah. Tetapi siapakah yang mau kawin dengan seekor ikan? Tentu saja tidak ada yang bersedia. Sementara itu dinegeri lain, ada seorang janda tua yang kejam. Dia mendengar pengumuman sang Permaisuri. Janda ini punya anak kandung, seorang gadis berwajah jelek dan berkelakuan buruk. Dia juga punya anak tiri bernama Karin. Ayah Karin, suami si janda sudah lama meninggal dunia. Karin selalu diperlakukan dengan kejam dan tidak berperikemanusiaan. Karin menangis tersedu-sedu karena ibu tirinya itu bermaksud menyerahkannya kepada Permaisuri untuk dikawinkan dengan seekor ikan. Sebelum dibawa ke istana Karin disuruh mencuci semua pakaiannya dan mandi yang bersih. Usai mencuci dan mandi ia duduk termenung dalam kesedihan. “Mengapa aku harus kawin dengan seekor ikan?” gumamnya putus asa. Percuma menolak perintah ibunya, pasti ibu tirinya itu akan menghajar dan menyiksanya habis-habisan. Tak terasa air matanya bercucuran. Saat termenung sedih tiba-tiba seekor katak meloncat dari balik batu. “Gadis cantik, kenapa kau menangis?” Ketika Karin menceritakan nasibnya yang malang katak itu justru mentertawakannya. “Gadis cantik,” kata si Katak. “Jangan khawatir, sebenarnya ibu tirimu hendak mencelakakanmu, tapi nasibmu bahkan akan menjadi baik dan menyenangkan. Dengarkan pesanku ini.” Katak itu memberikan tiga butir kerikil kepada Karin sembari berkata, ”Sebelum menikah dengan ikan itu, duduklah di kolam. Dia akan muncul kepermukaan. Pada saat itu masukkan sebutir kerikil ini ke dalam mulutnya. Dia tidak akan bisa menelanmu, tapi awas, jangan sampai kau tertidur di tepi kolam.” Demikianlah, setelah persiapan selesai Karin dibawa pergi keistana. Sampai di istana dia diberi pakaian yang indah-indah, diberi perhiasan dan disediakan untuknya pondok mungil di tepi kolam. Permaisuri berkata, ”Kau harus duduk sendirian di tepi kolam, ikanku akan melihat calon istrinya.” Dengan hati berdebar Karin duduk di tepi kolam. Tak berapa lama muncullah sebuah kepala yang bentuknya mengerikan. Secepatnya ia lempar sebutir kerikil ke dalam mulut ikan itu. Ikan itu menyelam tapi mendadak muncul lagi dengan mulut menganga. Karin melemparkan butir kerikil kedua dan ikan itu menyelam lagi. Tak lama kemudian ikan itu muncul lagi, sekuat tenaga Karin melemparkan butir kerikil ketiga ke dalam mulut ikan. Kali ini ikan itu tidak menyelam lagi melainkan terdengar suara menggelegar, air kolam bergolak lalu dihadap Karin berdiri seorang Pangeran yang sangat tampan. “Benarkah penglihatan saya ini…” gumam Karin seakan tak percaya. “Benar, aku sebenarnya seorang Pangeran yang kena sihir oleh orang jahat. Berkat bantuanmu aku kembali menjadi manusia. Terima kasih Karin.” Atas bantuan Permaisuri kedua remaja yang saling jatuh cinta ini dinikahkan, lalu diantarkan ke negeri asal Pangeran. Mereka hidup berbahagia. Sementara ibu tiri Karin menyesal bukan kepalang, ternyata nasib Karin lebih baik ketimbang nasib anak-anaknya. 17. Kesombongan Luwing - Sumatra Dahulu luwing adalah binatang yang kecil dan panjang dan dapat berlari kencang. Dia dapat mengejar matahari sampai matahari terbenam. Karena larinya sangat kencang maka tidak ada satupun binatang yang berani kepadanya. Bahkan manusia juga menghormati luwing. Setiap hari ia menantang setiap binatang untuk berlomba berlari. Tetapi siapapun yang berani menjawab tantangan sang luwing maka tak urung ia juga kalah pula. Ia terus mencari musuh yang mau bertanding dengannya. Ke sana-kemari sering pulang tangan kosong karena tidak ada yang memberanikan diri. Anak-anak luwing semakin sombong walau badan mereka kecil. Semakin lama masyarakat luwing semakin berani dengan binatang lain. Bahkan luwing sempat menantang penguasa alam semesta. Binatang lain sangat khawatir jangan-jangan penguasa alam murka. Sedangkan kesombongan para luwing itu membuatnya sangat kesepian karena tidak ada yang berani bersahabat dengan mereka. Kesombongan itu semakin memuncak dimana mereka mulai sering mengganggu binatang lainnya. Pada suatu hari luwing membuat gempar seluruh penghuni hutan. Karena ia hendak mengajak burung hantu untuk berlomba. Karena sudah tahu kecepatan luwing maka burung hantu hendak menolak secara halus permintaan luwing untuk bertanding. Dia takut akan tersinggung jika ia menjawab dengan apa adanya. Akan tetapi dasar luwing memang sombong dan merasa dirinya jago, maka keramahan burung hantu dianggap suatu penghinaan baginya. “Kamu menghina saya ya?” tanya luwing dengan kasar. “Aku tidak menghinamu, tetapi sekarang aku sedang tidak enak badan,” kata burung hantu. “Kamu bohong, mukamu tidak pucat," getar luwing. Sesungguhnya burung hantu memang tidak enak badan. Ia juga merasa percuma karena nantinya juga tetap kalah. “Hanya kamu yang belum pernah bertanding”, kata luwing. Burung hantu tidak tahu harus mengatakan apa agar luwing bisa mengerti. Karena burung hantu tidak mau juga, luwing hilang kesabarannya maka ia mengambil minyak lampu dan mengoleskan di mata burung hantu. Burung hantu kesakitan, luwing pun pergi meninggalkanya. Sambil pergi meninggalkan burung hantu yang kesakitan, luwing bersumpah, ”Hai burung hantu, kamu tidak akan bisa melihat disiang hari, matamu hanya dapat melihat di malam hari!” Itulah sebabnya burung hantu sulit melihat pada siang hari. Dengan cepat tersebarlah kabar penganiayaan luwing pada burung hantu. Binatang lain merasa kasihan melihat burung hantu yang terus kesakitan. Saat itu burung hantu bersumpah akan memakan luwing jika ia melihat luwing beserta anak cucunya di malam hari. Sejak saat itu burung hantu dan luwing tidak pernah bertemu. Karena dianggap keterlaluan perbuatan si luwing maka berkumpullah binatang hutan yang ada. Mereka bermusyawarah untuk mencegah luwing agar tidak melakukan perbuatan keji lagi kepada binatang lainnya. Hasil musyawarah itu adalah binatang penghuni hutan meminta kepada penguasa alam menghukum luwing agar tidak terlalu sombong. Mendengar keputusan binatang penghuni hutan, luwing marah sekali. Dia mendatangi binatang yang hadir dalam pertemuan musyawarah itu dengan satu persatu dan memarahi mereka. Disamping itu luwing juga balik menyampaikan undangan agar para binatang tadi berkumpul kembali. Karena pertemuan mereka kemarin dianggap tidak sah. Maka berkumpullah semua binatang di sebuah lapangan yang sangat luas. Anak-anak dan cucu luwing nampak mondar-mandir sambil mengejek binatang lain yang hadir dalam pertemuan itu. Gajah, babi hutan, harimau, kucing, tikus, tupai, kelinci, rusa dan lainnya juga berkumpul. Mereka tidak berani untuk tidak datang dalam pertemuan ini karena mereka takut jika luwing akan memporak-porandakan rumah mereka. Mereka seluruh penghuni hutan itu hanya bisa menuruti saja apa kata masyarakat luwing karena didasari perasaan takut. Tidak lama kemudian dihadapan mereka muncul induk luwing di atas mimbar putih dan berpidato. “Saya mau menyampaikan kesan saya terhadap keputusan penghuni hutan yang telah mengutuk saya. Perlu diketahui, tidak akan ada yang berani menghukum saya. Sayalah yang terhebat dimuka bumi ini. Kalian harus mengerti!” Suasana yang tadinya riuh setelah kehadiran induk luwing di atas mimbar menjadi sangat menegang. Mereka tercekam rasa takut karena sudah tiada perlindungan bagi mereka jika sang penguasa alam benar-benar telah ditaklukkan luwing. Induk luwing hendak menambah pidatonya, tiba-tiba ada anaknya yang menjerit. Para binatang lainnya semakin ketakutan. “Siapa yang berani menganggu anak saya?“ induk luwing membentak. “Tidak tahu mak!” jawab anak-anak luwing. Induknya geram memandang binatang hutan satu persatu. Dia mengancam akan menghukum mereka karena anak-anak mereka kesakitan. Induk luwing merasa ada yang aneh kejadian ini. Anaknya juga merasa heran karena seperti ada kekuatan yang mempengaruhi mereka. Binatang yang hadir waktu itu semakin ketakutan, tetapi mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Setelah diselidiki induk luwing heran karena kaki anak cucunya tambah banyak. ”Pasti ada yang usil”, pikir induk luwing. Induk luwing bermaksud segera mendekati para binatang lain dan mau mencari kepastian penyebab hal itu. Dia mengira ada tangan jahil binatang lain yang mengganggu agar konsentrasi rapat itu bisa buyar. Ia dengan kemarahan yang meluap segera turun dari mimbar. Tiba-tiba dia terjatuh, "Aduh...........sakiit!” serunya. Binatang lain heran dan semakin takut karena induk luwing tersungkur di pojok mimbar batu putih yang tinggi itu. Tidak lama kemudian mereka pun tertawa meski terheran-heran. Mendengar ada yang berani tertawa, induk luwing semakin marah. Hatinya panas, dia ingin segera menghukum binatang yang hadir saat itu. Diapun bangkit akan lari. Tetapi dia sudah tidak dapat lari kencang. Dia terkejut melihat kakinya sendiri yang menjadi banyak itu. Muka pucat pasi. Seperti tidak berdarah lagi. Sadarlah luwing-luwing itu kini. Ia tidak lagi bisa berlari kencang karena kakinya banyak. Dengan perasaan malu dia meminta ampun kepada penguasa alam semesta. Sementara itu binatang lain meninggalkan keluarga luwing. Keluarga luwing merasa malu sekali. Demikianlah, permohonan penghuni hutan kepada Sang Maha Pencipta telah menjadi nyata. Dengan malu sekali masyarakat luwing merangkak menuju hutan dan mereka berjalan pelan di bawah daun-daun yang rimbun. ============================================ Ebook Cersil, Teenlit, Novel (www.zheraf.net) Gudang Ebook Ponsel http://www.ebookHP.com ============================================